Friday, June 12, 2009

Boso Kalongan

Pat likur taun ninggalke kalongan, koyo’e kok nembe sadar nek aku wis urip ngrantau luwih suwi nimbang urip neng kalongan. Bar lulus SMA tahun 85, kuliah telong tahun nang Jakarta, terus kerja neng Padang. Telong taun neng Padang, dek taun 91 nganti saiki kerja neng Jakarta. Sak wektu kuwi, mulihe kalongan ya paling nek pas bodo, utowo pas liburan utowo nek pas ono uleman.
Tapi sing jenenge howo kampung, ben wis taunan nenggalke ora bakal klalen ra. Sing jenenge wangine megono bar dibukak dek bungkus godhong gedhang koyone ora ono sing ngalahke. Opo meneh nek sarapane nganggo lawuh tempe goreng sing irisane kandel-kandel kae. Durung maneh engko nek awan-awan terus kelingan tauto karo es teh manis. Wis sakpore pokoke.
Tapi sing jenenge panganan, nek nggo aku tetep bae ono solusine. Nek cuma’ megono karo tauto, ben ora persis nemen, ono warunge sing dodol utowo paleng ora biso nggawe dhewe.
Tapi nek kelingan terus kangen suwasanane Pekalongan? La kiye sing angel. Wong pas kumpul sedhulur bae ora biso. Sedhulurku nek ngumpul kandanane nganggo boso logat mbatang, terus nek sedhulur dek bojoku kandanane nganggo boso jogja. Ya ben kabeh boso jawa ya tetap bae ora penak, kurang sreg kae sih. Ya coro bosone koyo soto ora ono tauco ne ra. Enak po'o tapi ora ngglegender.
Kadang sing biso menghibur nek pas nrimo SMS mbakyuku. Padahal mbakyuku wis suwi neng Semarang, tapi ya mbuh kok isih akeh boso kalongan sing kelingan. Nek nompo SMS, ben cuma deretan huruf-huruf thok tapi rasane kok ketemu suasana kalongan, persise noyontaan.
Durung suwe iki, aku entuk hiburan anyar pas nekani acara kumpul Opek neng PTIK Jakarta. Neng kono, neng penerima tamu didol Kamus Pekalongan karangan Mbak Iyeng Santoso karo Mas Asikin. Yo langsung bae tak samber. Pas moco isine ya gugu kae jebule, ben bosone dhewe yo kok lucu juga.
Tapi saiki, sing luwih nggawe wetengku kaku kiye yo mergo aku biso kumpul sak ruangan karo wong asli sampangan kalongan. Dhewe’e, Mas Burhan jenenge, malah wis luwih suwe ninggalke kalongan. Pokok'e bar kuliah neng Jakarta terus kerja 20 tahun neng Bandung terus 5 taun neng Pontianak. Tapi yo mbuh, jebule dhewe’ne nek ngomong logate yo izeh persis wong sampangan kae sih.
Nggo aku iki cocok, suasana iki sing tak enteni. Nek pas ngomong karo Mas Burhan, sing jenenge boso asli kalongan metu kabeh. Istilah ceke’an, badhogan, buslheng, ndhobol, re kere, umyek, tapuk, al, angop terus pokoke izeh akeh maneh istilah sih aneh-aneh. Saking anehe istilahe, akeh boso kalongan sing izeh biso disisipke neng kamuse mbak Iyeng. Akeh, pokoke dek a nganyi z ketemu kabeh. Kapan-kapan engko tak kirimke nggo tambah-tambah isi kamus boso kalongan.
Ben nembe kumpul bareng, aku karo Mas Burhan wis ora sungkan-sungkan ngomong nganggo coro boso kalongan sing kadang nek dirungokke rada kasar. Mas Burhan kadang ngelekke, aja ngomong koyo kiye nek pas ngomong karo wong liyo. Anehe neng pas ora ono wong liyo, aku karo Mas Burhan dhuwe aturan ora keno nganggo boso alus opo meneh kromo. Soale opo?
Jarene, ono bocah kalongan sing kuliahe neng Semarang utowo mbuh pokoke neng wetan. Yo koyone mergo wis ketentho ngomong alus karo kanca-kancane, pas mulih kalongan ngajak ngomong kromo karo bapake. Mestine bapake kan bungah mergo bocahe saiki pinter ngajeni bapake. Tapi jawaban bapake jebul ora koyo kuwi. “Hey, ndhuk. Kowe karo bapakmu dhewe kok nganggo kromo mbarang. Opo aku kiye saiki mak pada' ke wong liyo pok?”.

Sunday, April 26, 2009

Wisata Kampoeng Batik

Membangun obyek wisata, selain wisata permainan, mempunyai karakteristik yang tidak jauh beda dengan membangun pusat perdagangan. Keduanya tidak bisa dipaksakan keberadaanya karena ia akan memilih datang secara alamiah dan apa adanya. Pikiran visioner dan tangan kreatif manusia kadang mencoba mematahkan premis. Tapi bukannya hasil memuaskan yang didapat namun justeru kegagalan yang harus diderita. Di dekade 90-an, kita pernah mendengar rencana ambisius Keluarga Bakrie untuk menciptakan kawasan Kalianda menjadi obyek wisata yang prestisius bahkan diharapkan mampu bersaing dengan Bali. Investasi milyaran rupiah dibenamkan dan promosi besar-besaran dilakukan. Hasilnya nihil. Suatu ketika saya bersama keluarga berkunjung ke Obyek Wisata Kalianda dan hanya mendapatkan hamparan pasir plus batuan putih yang sepi pengunjung serta kamar-kamar resort tanpa penghuni. Kondisi serupa saya yakin banyak ditemukan di tempat-tempat lain di seluruh penjuru nusantara. Bukti terbaru paling tidak saya temukan di Sentani Papua. Hotel and Resort Sentani tempat saya menginap merupakan proyek besar Merpati Nusantara Airline untuk memajukan wisata Danau Sentani. Setali tiga uang, hasilnya sama saja. Sentani gagal menarik wisatawan. Obyek wisata yang hanya mengandalkan fasilitas namun tidak mempertimbangkan tradisi, kemudahan akses, faktor penunjang lainnya akan gagal memikat perhatian wisatawan.
Mengembangkan kawasan yang secara potensial mempunyai kelebihan karena sudah eksis, dikenal luas, dan mudah diakses jauh lebih mudah ketimbang mengembangkan kawasan baru meski dengan kalkulasi matang sekalipun. Siapakah yang mampu mengkalkulasi dan memprediksi minat pengunjung? Karena alasan inilah, kemajuan wisata Bali atau Jogja tidak melulu karena sentuhan pengelola namun karena sejatinya mereka sudah mempunyai potensi luar biasa karena keindahan alam, faktor budaya, kemudahan akses, dan faktor penunjang lainnya seperti hiburan, kuliner dan termasuk barang sepele seperti oleh-oleh. Orang merasa tidak sah pulang dari Bali atau Joga tanpa membawa oleh-oleh meski sekedar Kacang Rahayu atau Bakpia Patuk.
Wisata akhir pekan di Kota Bandung yang berkembang pasca krisis 97 juga termasuk berkembang karena alasan adanya potensi luar biasa yang menjadi daya tarik masyarakat. Sebagai kota mode, Bandung semakin mengukuhkan statusnya dengan kehadiran Factory Outlet (FO) yang menawarkan busana berkualitas untuk kalangan dengan budget terbatas. Faktor kehadiran FO ditambah kesejukan alam, budaya sunda yang memberi nuansa berbeda, daya tarik sebagai kota pendidikan, kuliner dan oleh-olehnya membuat Bandung tidak pernah sepi dari pengunjung. Akses mudah yang secara tradisional ditunjang dengan jalur kereta semakin diperlancar dengan kehadiran Tol Cipularang. Karenanya pantas kalau semua potensi itu mampu menyedot perhatian sehingga setiap akhir pekan Bandung menjelma menjadi lautan wisatawan lokal.
Wisata Kampoeng Batik. Diperkenalkan sejak tahun 2007 dan dengan bermodal ketenaran sebagai Kota Batik, Wisata Kampoeng Batik ternyata kurang mampu menarik minat wisatawan lokal apalagi mancanegara. Sulit untuk menganalisis penyebabnya, namun kalau menggunakan analogi Bandung, apa yang menjadi nilai lebih ketika wisatawan mengunjungi kampoeng batik. Mereka tidak akan jauh-jauh datang hanya untuk menyaksikan proses pembuatan batik, sekedar demo atau belanja batik. Seperti orang berwisata ke Bandung, mereka berwisata juga karena kemudahan akses, menginginkan suasana menarik, kuliner yang istimewa, dan tentu saja berburu oleh-oleh yang menarik. Terus nilai lebih apa yang bisa ditawarkan Pekalongan? Tanpa mempertimbangkan kedua faktor terakhir ini, nasib wisata kampoeng batik akan sama dengan Wisata Kalianda dan Sentani serta proyek wisata gagal lainnya.

Saat perhatian masyarakat tertuju pada pemilihan legislatif, Pemkot Pekalongan ternyata punya hajatan besar berupa revitalisasi Wisata Kampoeng Batik. Menyadari pentingnya kemudahan akses, Pemkot melakukan kerjasama dengan P.T. KAI dengan menyediakan kereta wisata khusus yang diharapkan mampu menarik perhatian wisatawan dari Jakarta. Dalam revitalisasi, paket wisata kampoeng batik makin diperkaya dengan obyek-obyek lain seperti Musium Batik dan Pasar Grosir Setono. Dengan demikian program revitalisasi ini menawarkan pengalaman lebih karena terintegrasi, memberikan pengalaman berbeda dengan menaiki kereta wisata, sejarah perjalanan batik, dan proses pembuatan batik dari hulu sampai dengan hilir. Bagaimana paket wisata ini ditawarkan digambarkan secara apik oleh Metro TV dalam Acara Archipelago tanggal 26 April 2009 yang bertajuk” “Wajah Pekalongan”.

Masalahnya, mampukah visi dan inisiatif pemkot ini menarik minat wisatawan untuk datang, tinggal lebih lama, dan membelanjakan uang di Pekalongan sehingga mampu menggerakkan ekonomi rakyat? Nada optimis mungkin akan kita lontarkan kalau targetnya adalah sekedar menarik wisatawan untuk datang. Namun apakah mereka berminat untuk tinggal lebih lama dan membelanjakan uang lebih banyak tentu tergantung pada faktor penunjang yang ditawarkan masyarakat Pekalongan. Untuk yang terakhir ini rasanya perlu mengintegrasikan keunggulan ketenaran batik dengan potensi wisata lain yang ada di kawasan sekitar. Kalau nyatanya Pekalongan memang miskin potensi wisata alam, Pekalongan perlu memasarkan potensi wisata yang ada di sekitarnya. Misal, pantai ujung negoro dan wisata kebun teh yang ada di Pagilaran di Batang atau Wisata Alam di Petung Kriyono yang konon hanya satu-satunya daerah yang masih menyisakan harimau jawa. Demikian juga soal kuliner, Pekalongan tidak boleh hanya berbangga dengan masakan tradisionalnya taoto dan megono. Padahal, berdasarkan pengalaman teman-teman yang pernah berkunjung ke Pekalongan, mereka justeru terkesan pada seafood, ayam maroko, dan sup buntut Bu Leman. Artinya untuk membidik selera wisatawan kita harus mengalah pada selera pasar. Begitu juga soal oleh-oleh? Apa yang bisa dibanggakan dari Pekalongan? Padahal oleh-oleh dengan kemasan yang khas akan menjadi sarana efektif untuk mempromosikan suatu daerah. Buktinya? Kalau seseorang mengantri bagasi di terminal kedatangan Bandara Soekarno-Hatta, akan segera tahu dari mana mereka itu datang. Kalau Bika Ambon dari Medan, Kripik Balado dari Padang, Empek-empek dari Palembang, Kripik Pisang dari Lampung, Bandeng Presto dari Semarang, Krupuk Udang dari Surabaya/Sidoarjo, serta Markisa dari Makassar. Efektif dan mengena karena oleh-oleh itu akan menjadi duta promosi. Lalu apa oleh-oleh dari Pekalongan?