Friday, August 10, 2007

Duka Sumbar dan Yogya

Rentetan bencana seolah tiada habisnya menimpa bangsa Indonesia. Belum lagi tuntas masalah bencana-bencana sebelumnya, gempa di Sumatera Barat dan peristiwa jatuhnya pesawat Garuda di Yogyakarta menambah duka dan derita bangsa. Kita tentu merasa sangat ……sangat prihatin.
Bagi saya Sumatera Barat dan Yogyakarta seakan mempunyai arti tersendiri. Sumatera Barat adalah tempat pertama saya merasakan dunia kerja. Di sanalah, selama tiga tahun bertugas, saya sering berkelana bahkan sampai ke pelosok desa. Saking familiarnya, saya merasa lebih mengenal pelosok Sumbar dibanding Jateng, provinsi kelahiran. Sedang Yogya bagi saya adalah kampung kedua saat mudik lebaran. Kota ini biasanya menjadi pelepas kejenuhan setelah marem dan taneg di Pekalongan.
Bahwa Sumatera Barat rawan gempa sudah pernah saya buktikan sendiri. Di tahun 90-an, ketika belum sepekan di sana, saya sudah dikagetkan dengan gempa yang cukup keras mengguncang. Demikian kerasnya, teman-teman jawa seisi rumah waktu itu terbangun dari nyenyaknya tidur. Di luar dugaan, esoknya komentar orang di kantor enteng saja: “alah biaso”? Makanya, ketika di lain waktu ada gempa lagi saya berusaha bersikap biasa saja. Saya cuma bisa nggatuk2kan: pantes wong posisinya dilewati bukit barisan (ring of fire) makanya sering gempa, pantes bangunan rumahnya sudah mengadaptasi (beratap seng). Dan jejak purba sebagai daerah bencana memang bisa dilihat terutama di Ngarai Sianok Bukittinggi. Konon ngarai ini terbentuk dari rekahan bumi akibat gempa tektonik. Pasti dulu dasyat sekali, tapi hikmahnya sekarang justeru menjadi panorama yang indah.
Meski secara mental masyarakatnya sudah terbiasa menghadapi gempa, tapi gempa tanggal 6 Maret yang lalu tetaplah bencana yang mengharukan. Puluhan jiwa tak terselamatkan dan ratusan bangunan hancur karena gempa. Menyedihkannya, diantara bangunan yang hancur adalah tempat favorit saya, Pasar Ateh Bukittinggi. Dari tayangan TV saya lihat bangunan bersejarah yang berdiri tepat di depan Jam Gadang itu rusak cukup parah. Padahal dari pasar itulah roda perekonomian kota digerakkan karena menjadi sentra perdagangan kain bordir, seperti Grosir Setono yang menjadi sentra batik Pekalongan. Tentu saya turut prihatin. Bahwa Bandara Yogyakarta rawan kecelakaan sebenarnya sudah saya duga sebelumnya. Suatu ketika saya terbang ke Yogya dengan pesawat Bouraq. Saat mendarat, saya dikagetkan dengan laju pengereman pesawat yang sangat mendadak dan keras. Dari teman sebelah kemudian saya tahu bahwa hal ini dilakukan karena runway Bandara Adi Sutjipto ternyata pendek. Wah bahaya kan. Di kemudian hari memang saya beberapa kali ada urusan ke Yogya lagi tapi kebetulan naik pesawatnya waktu pulangnya saja. Anehnya kalau take off rasanya nggak ada masalah. Jadi sempat lupa bahayanya.
Nah peristiwa naas jatuhnya pesawat Garuda tanggal 7 Maret yang lalu akhirnya mengingatkan kembali pengalaman pendaratan di Yogya dulu. Dari situ saya menduga, terlepas dari temuan penyebabnya nanti, salah satu titik rawannya adalah di panjang runway-nya. Tanpa perpanjangan ya risikonya akan tetap tinggi. Apalagi sekarang banyak penerbangan low fare dengan pesawat tua yang kondisinya cuma sedikit di atas ambang bawah safety standard. Semoga saja cepat mendapat perhatian.Akhirnya, bagi korban yang meninggal saya doakan semoga mendapat tempat yang layak disisi-Nya, bagi keluarga korban yang ditinggalkan semoga diberikan ketabahan serta bagi korban selamat dan luka-luka semoga diberi kekuatan untuk segera bangkit kembali. Semoga bisa mengambil hikmahnya, Amin.

No comments: