Showing posts with label Gagasan. Show all posts
Showing posts with label Gagasan. Show all posts

Saturday, April 18, 2009

Buruk Suara, DPT Dibelah

Saya selalu saja geregetan dan hanya bisa mengurut dada setiap kali mengikuti berita silang sengketa para politisi yang menyoal DPT Pemilu Legislatif 9 April 2009. Bagaimana tidak, orang-orang yang selama ini terpandang sontak menjadi orang kalap karena kehilangan kendali rasionalitasnya dalam menyikapi hasil pemilu. Saya pikir mereka hanya siap menang, namun tidak siap kalah. Menyedihkannya, sikap yang begini terjadi dari calon pimpinan penyelenggara negara dari tingkat sampai ke tingkat daerah.
Di tingkat pusat, mungkin karena lebih berpendidikan dan mempunyai status sosial lebih tinggi, mereka menempuh cara-cara yang menurutnya mungkin cukup elegan, seperti mengklaim ada kecurangan sistematis, DPT yang tidak bereslah, penghitungan yang tidak transparan dan seabreg alasan lainnya. Sedang para tokoh kita di daerah, waduh ….. kasihan sekali ya. Mungkin karena tidak ada penyaluran dan dalih yang pantas dilontarkan serta tak ada pula yang mau mendengar, mereka lebih memilih berdiam diri. Tak sedikit malah yang berdiam diri untuk selamanya.
Menyoal tentang DPT, terus mengklaim bahwa pemilu gagal sehingga menuntut pemilu ulang, sungguh suatu gagasan yang teramat sulit untuk dimengerti. Apakah mereka mengira bahwa pemilu benar-benar pesta rakyat sehingga rakyat akan menyukai pemilu dan pemilu lagi. Bayangkan, rasanya capek di badan ini belum lagi hilang dari “pesta” pilgub dan pilkada, dan yang terakhir pemilu legislatif. Jadi bagaimana lagi kalau ada pemilu ulang, padahal sebentar lagi bakal ada pilpres. Akankah energi, sumber dana dan daya bangsa ini harus tersedot hanya untuk urusan yang seringkali tidak dimengerti oleh rakyat kecil?
Yang lebih unik adalah lagaknya partai-partai kecil. Mereka menyoal DPT seolah-olah DPT-lah yang menjadi biang kekalahan mereka. Naif dan sangat kekanakan argumennya. Sepertinya peserta yang tidak terdaftar bila diberikan kesempatan akan memilih partai-partainya. Ya nggaklah.
Kenapa begitu, logikanya begini. Andaikata DPT telah tersusun dengan benar dan seluruh eligible voter betul-betul melaksanakan hak pilihnya, maka besaran itu kita anggap sebagai populasinya. Katakanlah 170 juta. Dari jumlah pemilih ini kemudian menggunakan hak pilihnya dan kemudian dihitung oleh KPU. Mengingat besarnya data, mereka melakukan langkah pertama dengan menggunakan teknik sampling atas 1 juta kertas suara yang katakanlah sangat sangat representatif dan menghasilkan urutan 5 besar pemenang A, B, C, D, dan E. Kemudian karena menginginkan margin error diperkecil, diambillah langkah kedua dengan memperbesar sampel sampai dengan 10 juta dan terus meningkat sampai 150 juta. Hasilnya ternyata sama dengan urutan 5 pemenang adalah A, B, C, D, dan E. Bila diinginkan langkah ketiga dengan mengambil data pada seluruh populasi yaitu 170 juta, kira-kira bagaimana distribusi sisa 20 juta suarannya? Dengan memperhatikan langkah pertama dan kedua menghasilkan distribusi normalnya A, B, C, D, dan E, maka saya yakin bahwa sisa 20 juta suaranya juga akan menghasilkan distribusi serupa.
Sekarang apabila langkah pertama itu kita substitusi hasil quick count, sedang langkah kedua merupakan hasil real count, maka langkah ketiga adalah pemilu ulang untuk tambahan 20 juta peserta yang dalam pemilu kemarin belum terdaftar. Tanpa perlu merealisasikan pemilu susulan kita sudah bisa menebak hasilnya akan sama saja. Lalu bagaimana seandainya metode pemilu susulan tidak diterima tetapi menginginkan pemilu ulang. Kalau ini yang dipilih, mungkin peta perolehan 5 besar suara akan sedikit berubah. Tapi perubahan ini percuma saja bagi partai yang banyak ulah. Soalnya saya yakin, partai yang dizalimi dan/atau yang pimpinan partainya legowo menerima hasil pemilu akan semakin dicintai dan dipilih rakyat, sedang partai yang banyak ulah dan dalih akan semakin dijauhi rakyat. Jadi, kalau buruk muka kita nggak perlu membelah cermin yang hanya akan membuat kerusakan tetapi tidak menghilangkan penyebabnya. Kalau mau berfikir arif dan menghindari kerusakan, terima saja hasil pemilu dengan jiwa besar. Gitu aja kok repot.

Sumber Gambar: www.kanalpemilu.net

Tuesday, September 30, 2008

Mudik Pekalongan Via Dieng

Bosan mudik lewat jalur pantura yang panas dan pemandangan monoton, tahun ini saya sekeluarga mudik dari Bogor tujuan Pekalongan lewat jalur selatan. Pilihan ini berarti jalurnya melambung jauh tapi memang saya niatin karena: Pertama, mencoba suasana baru, kedua, mencuri start jalan-jalannya biar habis lebaran fokus di Pekalongan dan sekitarnya aja. Jadi, eksperimenku sengaja milih mudik ke Pekalongan sambil piknik lewat Dieng. Itung-itung, perjalanan mudik biar tak lagi membosankan dan menambah kesan buat anak-anak.
Berangkat hari minggu jam 2 pagi, perjalanan relatif lancar sampai keluar pintu tol Cileunyi. Selepas itu ternyata perjalanan tersendat juga. Macet, merayap dan kadang harus stop and go. Tapi yang namanya nginjak jalur yang sudah tahunan nggak dilewati ya lumayan dapat kompensasi suasana. Boleh dibilang sampai pertigaan Buntu suasana mudik yang semrawut masih terasa. Tapi ketika berbelok kiri mengarah ke Wonosobo, suasana tenang dan nyaman baru terasa. Mayoritas lalu lalang kendaraan mudik tergantikan oleh suasana lalu lalang kendaraan lokal. Cukup menghibur suasananya dan rasa kantuk yang mulai mendera sontak lenyap. Persis maghrib sampai di Wonosobo dan segera saja check in di Hotel karena buru-buru untuk berbuka puasa.
Jam 9 pagi esok harinya, perjalanan ke Pekalongan dilanjutkan lewat jalur mendaki ke Dieng. Gagasanku, mudik sekalian piknik, kenapa tidak? Hambatannya memang masih suasana puasa jadi mungkin tidak bisa menikmati perjalanan secara sempurna. Apalagi saya bawa anak kelas 6 dan 2 SD. Bagaimana kalau mengeluh lapar dan haus? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana suasananya?, apa obyek-obyek tujuan utama di sana tetap buka?Perjalanan mendaki dari Wonosobo memang kontan memberikan suasana mudik yang jauh berbeda dibanding jalur normal manapun. Udara segar langsung terasa, tanah garapan kebun sayur yang berundak-undak langsung memberikan suasana yang jauh berbeda.


Mungkin karena suasana puasa, pengunjung obyek wisata Dieng ternyata sepi mendekati ramai. Tapi hal ini malah menjadi hikmah tersendiri karena pengunjung bisa leluasa menikmati obyek yang ada tanpa harus ada crowded atau berdesak-desakan. Setiap masuk obyek wisata seperti telaga, candi atau teater hanya terlihat beberapa rombongan wisatawan. Diantara pengunjung lama-lama jadi apal dan saling mengenali. Hikmahnya kita bisa saling menyapa dan lebih bisa menikmati suasana karena pelayanannya sama sekali tidak berkurang. Sewaktu nonton di Dieng Plateu Theater misalnya, meski baru ada tiga rombongan film langsung diputer. Jadi cukup privasilah.



Kalo melihat obyek yang ditawarkan, mungkin sehari saja belum cukup untuk menjelajahinya. Tapi yang namanya kendala psikologis terus terang ya tetap ada, meski anak-anak nggak ngeluh capek, lapar atau haus, kita tetap membatasi diri tidak ngoyo nguber obyek-obyek yang ada. Namanya juga piknik yang sambil lalu, jadi menjelang jam 2-an, saya sekeluarga turun menyusuri jalur yang mengarah ke Batur dan Wonoyoso.
Di luar dugaanku, disamping pemandangan alamnya yang indah, di jalur ini menyediakan pemandangan mengagumkan lainnya berupa deretan masjid-masjid bagus nan menyolok yang jarak satu dengan lainnya kadang tidak terlalu jauh. Terus terang saya mengaguminya karena berarti masyarakat di sini sangat religius dan secara ekonomi cukup makmur. Sungguh, jajaran menara-menara masjid yang menjulang ini melebihi suasana di Pulau Lombok yang mengklaim sebagai Pulau Seribu Masjid. Kalo gitu julukan apakah yang pantas untuk kawasan Dieng?

Friday, September 19, 2008

Lebaran Akbar

Alhamdulillah, sejauh ini, masyarakat tidak lagi diresahkan dengan isu penetapan Hari Raya Idul Fitri 1429 H. Dua kubu dengan metodenya masing-masing, rukyat dan hisab, yang biasanya baku debat rupanya bisa juga bersatu. Suatu itikad baik untuk bersatu yang berarti memberi sinyal baik bagi ummat atau sekedar kebetulan semata yang karena ijin Allah, alam mempertemukan pendapat mereka?
Apapun alasannya, saya melihat kondisi posisi bulan untuk penanggalan Ramadhan kali ini sangat bersahabat. Posisi bulan sempurna, cuaca mendukung dan penanggalan Masehi dan Hijriah sama, serasa berkonspirasi untuk memberikan ketentraman. Maka, secara bodo-bodoan saya amati dan analisis fenomena itu dengan kurva lonceng seperti gambar di bawah.

Pertama, dengan penampakan bulan pada tanggal 2 Ramadhan, saya yakin bahwa penetapan awal puasa sudah tepat. Kedua, penampakan bulan terus saya amati dan mencapai puncaknya (full moon) pada tanggal 15 Ramadhan. Ketiga, dengan logika kurva lonceng (same as others), saya yakin bahwa akhir puasa (no moon) akan jatuh pada 15 hari ke depan. Dan itu artinya puasa tahun ini akan genap 30 hari atau berakhir pada 30 September 2008.
Kesimpulanku, Allah melalui kuasa-Nya telah mempersatukan dan mempertemukan pendapat umara dan ulama sampai pada titik tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Alhamdulillah, Insya Allah, kitapun akan merasakan kembali Lebaran Akbar.

Thursday, May 22, 2008

Demo BBM

Hari-hari belakangan ini, demo para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya kembali marak utamanya menentang rencana kenaikan BBM. Mereka yang mengaku peduli pada rakyat miskin ini semakin mendapat momentum berkenaan dengan peringatan 100 tahun kebangkitan bangsa Indonesia dan 10 tahun reformasi. Isu ini mereka usung demi membangkitkan semangat perlawanan kepada pemerintah yang dicap korup, tidak memihak rakyat dan lebih mengabdi kepada kepentingan asing.
Tapi benarkah setiap rencana kenaikan BBM selalu dianggap tidak memihak kepada rakyat miskin dan kenapa stigma ini begitu melekat di benak para demonstran. Sulit tentu untuk mencari penyebabnya. Tapi dari beberapa omongan dan email berantai yang saya terima, sedikit banyak saya jadi tahu kenapa.
Saya, paling tidak, tertegun dengan cara pikir mereka karena konon BBM itu tersedia gratis dari perut bumi Indonesia dan hanya perlu ongkos produksi US$15/barrel (kalau impor berarti harga internasional + US$15). Kemudian, karena total konsumsi kita 1,2 juta barrel/hari sementara produksi kita cuma 1 juta barrel/hari maka kita hanya perlu impor 200 ribu barrel/hari. Namun, karena pemerintah menjual BBM seharga US$77/barrel (dengan subsidi), berarti masih menerima surplus sebesar US$49,4 juta/hari atau Rp165,8 Trilyun. Nah karena masih untung, tentu tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM dalam negeri. Benarkah akibat kenaikan BBM di pasar internasional pemerintah masih untung atau surplus? Wah, bahaya dan sangat provokatif sekali logikanya. Andai saja logika yang belum tentu benar itu jadi pemicu demonstrasi, apalagi kalau sampai timbul kerusuhan tentu sangat disayangkan.
Kenapa saya bilang begitu karena menurut saya logikanya terbalik, sangat lemah, dan subyektif. Sekarang bayangkan, selama kita menjadi net importir (-), maka setiap kenaikan harga minyak di atas asumsi BBM atau harga jual bersubsidi pasti akan semakin menambah dana subsidi alias kerugian karena pemerintah harus membeli harga tinggi di pasar internasional tapi menjual murah di dalam negeri. Logikanya selama masih net importir, selama harga beli lebih tinggi dari harga jual, pasti akan rugi. Beda halnya kalau ternyata harga BBM di pasar internasional turun di bawah harga dalam negeri (kasusnya hampir terjadi ketika harga pertamax mendekati harga premium), pemerintah surplus dan wajib kita tuntut untuk menurunkan harga BBM.
Bahwa kenaikan harga BBM akan membawa dampak kerugian bagi warga miskin, saya sangat setuju. Tetapi, saya sangat tidak setuju kalau ada pemutarbalikan fakta dari defisit menjadi surplus sehingga bikin gerah orang awam. Andai saja kita mau berpikir bijak, kita mestinya menyadari kalau BBM terus-menerus disubsidi justeru akan memperlebar kensejangan antara si kaya dan si miskin. Si kaya yang seharusnya ikut sama-sama menanggung beban tapi malah mendapat perlindungan efek dilusi dari kebijakan yang bernama subsidi BBM. Taruhlah si kaya selama ini mengaku sebagai pahlawan pembayar pajak, tapi berapa net cashflow yang ia sumbangkan kalau di sisi lainnya dia menarik lagi manfaat dari pemerintah berupa subsidi BBM. Ilustrasinya begini: Seorang manajer menengah yang setiap tahun membayar pajak Rp8 juta, tiap harinya berkendara mobil pribadi dengan konsumsi premium rata-rata 10 lt. Dengan harga BBM sekarang Rp4.500 sementara harga ekonomis Rp8.500 berarti tiap liternya dia menikmati subsidi sebesar Rp4.000. Artinya dalam setahun (300 hari saja), dia menarik lagi manfaat dari pemerintah sebesar Rp12 juta. Jadi alih-alih menjadi pahlawan, secara total si manajer menengah tadi sebenarnya tidak memberikan kontribusi bagi negara. Mereka sebaliknya membebani anggaran negara yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program pengentasan kemiskinan. Relakah kalau sekelompok masyarakat menengah ini dengan mengatasnamakan rakyat kecil masih terus meneriakkan penolakan kenaikan BBM?

Saturday, March 22, 2008

Penjernihan Air untuk Hari Air Sedunia

Hari ini, tanggal 20 Maret, sebagian masyarakat dunia sedang memperingati World Water Day (Hari Air Sedunia). Peringatan yang digagas sejak tahun 1992 saat Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) di Rio de Janeiro ini mempunyai agenda antara lain menyediakan fresh water (air bersih). Meski air merupakan kebutuhan vital manusia, sayangnya tak banyak masyarakat yang peduli tentang peringatan dan makna Hari Air Sedunia ini. Menyedihkan memang, padahal dalam kesehariannya mereka semakin dirundung oleh sulitnya mengendalikan air. Di musim hujan kebanjiran air, di musim panas kekurangan air apalagi air bersih.
Mendapatkan akses air bersih memang bukan hal yang mudah di Indonesia. Dalam masyarakat yang mayoritas masih mengandalkan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari, air bersih menjadi barang langka. Tak sedikit orang yang kecewa dengan kualitas air tanahnya. Keluhan yang sering ditemui umumnya keruh, air berwarna kuning atau bau besi.
Nah, dalam rangka peringatan Hari Air Sedunia, saya mencoba berbagi pengalaman menjernihkan air. Metode yang saya gunakan berbasis pada pengalaman yang saya terapkan di rumahku Vila Nusa Indah Bogor, dengan menggunakan metode penjernihan layaknya akuarium. Metode ini telah saya terapkan lebih dari lima tahun dan terbukti cukup aman dan murah untuk memroses penjernihan air dengan hasil yang tidak mengecewakan. Bahkan metode ini sudah diterapkan di rumah Pekalongan dan rumah Tanteku di Semarang yang keduanya berhasil menjernihkan air dalam kurun 2 tahun belakangan ini. Mau mencoba?

Proses Penjernihan. Penjernihan dengan model akuarium ini pada prinsipnya bekerja melalui proses penyaringan air secara berulang dalam tandon air. Air masukan dari sumur dialirkan langsung ke dalam tandon sampai posisi upper level (disarankan memakai sensor air model Radar). Air yang tertampung kemudian dipompakan ke penyaring air yang ditempatkan di mulut tandon air. Setelah tersaring, air akan jatuh kembali ke tandon air yang oleh pompa akan kembali dipompakan ke atas. Demikian, proses ini berlangsung secara terus-menerus sehingga air akan tersaring secara merata.

Peralatan yang Dibutuhkan. Dalam pengadaan peralatan yang dibutuhkan, para pembaca diasumsikan sudah mempunyai tandon air untuk keperluan penyimpanan dan distribusi air. Karenanya peralatan yang dibutuhkan dibatasi pada komponen penjernihannya saja yaitu:

1. Pompa Akuarium

Pompa akuarium yang dipilih cukup yang berdaya kecil agar tidak boros listrik. Kecilnya kapasitas dan daya sembur air yang dihasilkan tidak terlalu menjadi masalah karena yang penting suplainya stabil sehingga tidak mengganggu proses penyaringan.
2. Slang dan Katup Perata Air
Slang air dibutuhkan untuk menyalurkan air pompaan ke penyaring. Slang air yang dibutuhkan dapat berupa slang air standar akuarium atau slang plastik biasa dengan diameter yang sesuai. Sedang katup perata air diperlukan untuk meratakan sebaran air dalam saringan agar proses penyaringan menjadi lebih sempurna.

3. Ember atau Wadah Saringan
Ember atau wadah yang dipilih harus mempunyai ukuran yang sesuai dengan mulut atau lubang bukaan tandon air yang ada. Kegunaan dari ember ini adalah untuk menempatkan saringan air sekaligus sebagai ganti penutup standar tandon air (penutup standar terpaksa dipensiunkan).
4. Bahan Penyaring
Bahan penyaring cukup menggunakan saringan akuarium (filter mat) yang biasanya berbahan serat nylon. Selain murah, jenis saringan ini terbukti efektif menyaring larutan dalam air dan mudah perawatannya.
5. Penutup Saringan Air
Meski air dalam tandon sudah dalam posisi tertutup ember atau wadah saringan, namun saringannya sendiri masih dalam posisi terbuka. Untuk menghindari bersarangnya nyamuk, tutuplah dengan kain atau bahan penutup lainnya terutama yang berpori-pori kecil.

Penjernihan yang Efektif dan Efisien. Setelah alat penjernihan di atas bekerja selama 3-5 jam, air tandon dijamin mulai jernih dan siap untuk digunakan. Mengingat metode ini bekerja melalui penyaringan berulang, upayakan agar posisi air dalam tandon tidak terkuras habis. Namun jangan kuatir, untuk pemakaian normal, air dapat digunakan secara kontinyu tanpa masa jeda.
Metode penjernihan ini mempunyai keunggulan karena memroses penjernihan di titik sentral distribusi air. Dengan demikian, air hasil penjernihan dapat langsung terdistribusi ke setiap titik kran tanpa membutuhkan aktivitas tambahan. Dengan membuka kran yang sama, pengguna akan memperoleh air dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya. Praktis bukan.
Keunggulan lainnya dari metode ini adalah minimnya biaya instalasi. Pembaca yang ingin menerapkannya cukup merogoh kocek tak lebih dari Rp100.000. Investasi yang cukup murah mengingat instalasi tersebut dapat digunakan dalam jangka waktu lebih dari tiga atau empat tahun. Adapun biaya operasionalnya juga cukup murah karena hanya akan mengkonsumsi listrik tidak lebih dari 10 KWH per bulan.
Nah dibalik segala keunggulan tersebut, penjernihan ala akuarium ini memang mempunyai kelemahan karena membutuhkan perawatan rutin untuk membersihkan filter mat-nya. Frekuensinya tergantung dari kualitas air sumur yang diolah. Paling tidak dalam tempo 1-2 minggu pengguna harus membersihkan bahan penyaring. Cukup merepotkan memang. Namun demikian, kerepotan dalam perawatan ini sebenarnya terkompensasi dengan berkurangnya pekerjaan menguras tandon karena air yang berada di dalamnya selalu dalam keadaan bersih.

Nah bagi para pembaca yang kesulitan mendapatkan air bersih tidakkah tertarik untuk menerapkan metode ini? Selamat mencoba, semoga berhasil.

Sunday, October 28, 2007

Lapangan Semi Indoor:


Gambar di atas adalah foto hasil bidikanku tentang inovasi unik yang saya temukan di Desa Sapuro, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, pada tanggal 15 Oktober 2007 yang lalu, berupa lapangan semi indoor. Mereka melingkupi lapangan dengan kain terpal yang diselubungkan pada kerangka besi, untuk mengurangi pengaruh angin dalam permainan bulutangkis outdoor. Hembusan angin yang menjadi musuh utama dalam permainan bulutangkis pun dapat diminimalisasi. Inovasi warga yang tinggal di areal pemakaman umum ini mungkin terinspirasi oleh keranda jenazah yang memang menjadi pemandangan sehari-harinya.

(Foto dan narasinya ini telah dimuat dalam Rubrik Bidikan Anda Harian Republika Edisi Ahad 28 Oktober 2007)

Inovasi ini mungkin bisa digagas dan diterapkan di lapangan bulutangkis tempat anda berada. Efektif, murah dan bisa bermanfaat untuk kegiatan lainnya.

Friday, October 5, 2007

Rukyat Purnama

Menghadapi kemungkinan perayaan lebaran yang tidak bersamaan, ummat Islam masa sekarang sepertinya sudah adem ayem aja. Ini bisa jadi karena Ummat Islam makin arif atau bisa juga karena sudah terbiasa menghadapi situasi begini. Juga, bisa jadi karena ummat Islam itu paling pinter mengambil hikmah dari sesuatu. Bukankah hadits Nabi mengatakan: “perbedaan itu adalah rahmat”. Jadi buat apa dipaksakan untuk disatukan, toh masing-masing mendapat rahmat atau hikmah dibaliknya.
Hikmah beda penentuan 1 Syawal setiap tahunnya paling tidak membuat ormas Islam mendapat promosi gratis. Nama-nama seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya selalu disebut-sebut karena pendapat merekalah yang menjadi panutan ummat. Media masa-pun jadi rajin menyimak pendapat tokoh-tokohnya.
Beda lebaran ternyata bisa juga membawa dampak positif dengan terpecahnya konsentrasi ummat ketika merayakannya. Bukankah dengan begitu akhirnya pemerintah menambah cuti masal dan arus mudikpun tidak tumplek blek pada hari tertentu saja. Hikmahnya kan liburnya menjadi lebih panjang dan mengurangi kemungkinan macet total.
Tapi sebaik apapun ummat Islam dalam memaknai perbedaan tetaplah lebih indah yang namanya persatuan. Penyebabnya perbedaan adalah pangkal kebinasaan suatu negeri. Firman Allah dalam QS Huud ayat 117-118: “Dan Tuhanmu tidak membinasakan negeri-negeri dengan aniaya, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, (tetapi) mereka senantiasa berselisih”. Parahnya, ummat Islam terkesan pasrah dengan perbedaan dan makin keukeuh dengan pendapat kelompoknya masing-masing.
Beda metode penentuan 1 Syawal yang sudah berbilang puluhan tahun ini mestinya sudah dianggap sebagai dua kutub yang sudah tidak mungkin dipertemukan lagi. Masing-masing berada pada titik ekstrim: rukyat dan hisab. Pendapat manapun yang akan kita ikuti mengandung arti pengabaian terhadap pendapat lainnya yang juga mempunyai dalil kuat. Bingung kan? Repotnya lagi kalau kita makmum tapi tanpa pengetahuan berarti taqlid. Suatu sikap yang tercela dalam Islam. Padahal mencoba memahami metode rukyat atau hisab itu tidak gampang.
Nah daripada pusing-pusing memahami metode mereka, saya mencoba mendapatkan keyakinan melalui metode rukyat purnama. Logikanya begini:

“Kalau kita mengetahui awal suatu bulan Hijriah dan kemudian mencari titik tengahnya - saat bulan purnama - maka kita akan bisa menghitung atau memprediksi perjalanan setengah bulan ke depan alias kapan masa suatu bulan berakhir.”

Metode ini sudah saya coba terapkan di bulan di bulan Rajab dan Sya’ban 1428 H dan hasilnya cocok dengan penanggalan. Penerapannya begini:

Rajab : Malam hari di tanggal 14 dan 15 Rajab bulan tidak terlihat bulat sempurna sehingga saya mengasumsikan purnama terjadi siang hari pada tanggal 15 Rajab. Ini artinya setengah bulan berumur 14½ sehingga bulan Rajab berumur 29 hari.

Sya’ban : Malam hari 15 Sya’ban bulan bulat sempurna (purnama) sehingga saya memastikan inilah saatnya tengah bulan. Ini artinya setengah bulan berumur 15 sehingga bulan Sya’ban berumur 30 hari.

Jadi untuk penghitungan umur bulan Ramadhan begini:
Ramadhan : Malam hari di tanggal 14 dan 15 Ramadhan bulan tidak terlihat bulat sempurna sehingga saya mengasumsikan purnama terjadi diantara kedua malam tersebut alias siang hari pada tanggal 15 Ramadhan. Ini artinya setengah bulan berumur 14½ sehingga bulan Ramadhan berumur 29 hari.
Nah, Isya Allah beginilah cara saya menyikapi perbedaan penentuan 1 Syawal. Jadi, kecuali ada keputusan bulat untuk mempersatukan 1 Syawal pada tanggal 13 Oktober 2007, saya yakin dengan pilihan puasa ramadhan selama 29 hari yang artinya lebaran pada tanggal 12 Oktober 2007. Wallahu A’lam bishshawab.
Foto: htpp://febdian.net

Friday, August 10, 2007

Melati

Melati, ada apa rupanya? Ingatan saya tentang melati kembali terngiang setelah membuka web Grosir Pekalongan. Memang selama ini kalo lagi pengin tau kondisi seputaran Pekalongan biasanya saya menyambangi web ini. Isinya cukup variatif, nggak sekedar bisnis tapi juga soal-soal sosial dan pariwisata. Nah dari web itu saya baru tahu kalau melati itu sekarang sudah jadi komoditas. Dijual dari partai kecil kiloan sampai partai besar. Wah…wah…
Soal Pekalongan sebagai penghasil utama melati sebenarnya sudah saya ketahui semenjak acara pemakamannya Bu Tien dulu. Waktu itu untuk acara tabur bunga konon dibutuhkan 20 ton melati. Bayangin, 20.000 kilo dan dalam tempo sehari. Darimana? Ternyata nggak ada tempat lain yang mampu menyediakan selain Pekalongan. Wooo…rupanya dari kota ini ada lagi potensi yang belum dikenal masyarakat luas. Iseng-iseng ngitung aja, untuk menyuplai sebegitu banyak melati dalam tempo sehari berarti ada perkebunannya yang luas ya. Soalnya untuk 1 hektar kebun maksimal hanya menghasilkan 120 kilo. Jadi mestinya ada ratusan hektar kebun melati. Di mana dan buat apa ya?
Tentang lokasi perkebunannya, biar wong asli Pekalongan, saya nggak tahu persis. Seingat saya dulu ada beberapa kebun melati mulai dari Pantai Slamaran terus ke arah timur (mungkin sampai mBatang). Tapi kalau ngliat orang yang bawa panenan kok malah dari arah selatan. Dulu waktu SD saya sering ngajak balap sepeda dengan pembawa melati dari arah Posis Noyontaan sampai Hotel Nirwana. Yang pastinya seru karena mereka mau aja diajak ngebut.
Memang, pembawa melati selalu ngebut kalo bersepeda. Ini ternyata berhubungan dengan kegunaannya sebagai campuran teh untuk menambah aroma. Konon, syarat biar aromanya menyatu dengan tehnya, melati harus masih kuncup dan baru mekar waktu diblending. Makanya pembawa melati akan berusaha secepat-cepatnya mengantar. Terlambat dan mekar di jalan sudah pasti nggak berguna dan cuma jadi sampah. Buktinya, dulu di jalan Patiunus dan boom banyak tumpukan sampah melati. Ambune lumayan breng! Teh beraroma melati memang dari dulu menjadi ciri khas Pekalongan. Ditubruk langsung air panas wah, harum. Opomeneh kalo legi tur kenthel terus jajanane bolang-baling. Dijamin njedag (istilahe Farid Akhwan), klalen susahe urip.
Selain untuk campuran teh, kegunaan melati yang umum setahu saya buat hiasan. Dari hiasan untuk wong urip sampai untuk wong mati. Mungkin melati disukai karena putih bersih perlambang kesucian. Sebagai hiasan wong urip, melati biasanya banyak dibutuhkan untuk hiasan pengantin. Sedang buat wong mati, melati dibutuhkan buat peneduh makam. Makanya menjelang puncak ziarah (akhir ramadhan), di Pekalongan ada istilah pasar kembang cilik dan pasar kembang gede (?).
Mengingat potensi suplainya mestinya perlu juga dipikirkan alternatif pemanfaatannya ya. Untuk kebutuhan aroma teh, mungkin sudah perlu dipikir ulang karena teh beraroma melati sudah sunset. Sekarang orang cenderung milih rasa nimbang aroma. Sedang buat kebutuhan untuk hiasan kan sifatnya insidentil. Mungkin alternatif yang menarik kalo melati bisa diolah menjadi minyak wangi dan jadi produk masal. Cukup industri tradisional dan rumahan tapi yang penting bisa menghidupkan ekonomi masyarakat. Wah, asyik juga kan kalo nantinya ada ciri khas baru sebagai kota penghasil minyak wangi.

Alumni: Tidak Akur di Nama

Dari pesan berantai melalui SMS dan meng-klik mesin pencari di internet, saya baru tahu ternyata ada kumpulan alumni dari SMA Negeri yang berada di Jalan Kartini Pekalongan. Sebagai salah satu alumnusnya tentu saya bangga karena punya wadah untuk saling berkomunikasi. Kenangan semasa SMA yang makin samar kembali semakin nyata. Satu per satu nama dan peristiwa yang hampir terlupakan kembali teringat. Terima kasih. Berarti wadahnya telah disediakan, tinggal pilihannya di tangan kita, maukah kita bergabung dan merekatkan diri lagi.
Sekedar menentukan pilihan ternyata tidak mudah karena ada beberapa organisasi alumni dari SMA yang sama. Alumni angkatan 70-an yang sudah sering mengadakan pertemuan di Jakarta misalnya, menyebutnya dengan Alumni SMA Negeri Pekalongan. Kemudian dari www.zdrive.com atau www.askarlo.net saya mendapatkan penyebutan askarlo (alumni sekolah kartini pekalongan). Sedang alumni tahun 90-93 membentuk wadah sendiri yang sekaligus sebagai penamaan website-nya www.lasmansa.com (lulusan asli sma negeri satu). Belum lagi lulusan dari tempat sama tapi dengan label SMU yang sepertinya punya kecenderungan mangkal sendiri (www.grosirpekalongan.com). Nah nggabung kemanakah kita yang angkatan 85? Bikin sendiri????!!! Koyo partai politik thok.
Buat saya yang sekedar mau ikutan aja sih maunya kalau ada wadah tunggal yang menaungi semua angkatan. Kan enak, syukur-syukur nanti alumninya ada yang jadi petinggi negara atau pengusaha top. Bisa numpang beken. Nah soal nama wadahnya kalau saya sih cenderung yang generik saja. Jadi bisa masuk untuk semua alumni. Eeee … apa ya?

Andai Ku Punya Stadion Indoor

Malam itu, ketika sedang asyik jalan malam keliling Kota Samarinda, saya dikejutkan oleh siaran radio lokal yang menyebut-nyebut nama Pekalongan dalam beritanya. Wah ada apa nih? Setelah meminta perhatian sebentar dari dua kolega semobil, barulah saya mengetahui ternyata ada insiden dalam Konser Ungu di Kedungwuni yang menewaskan 10 orang. Innalillhai Wa Innailaihi Roji’un.
Berita yang tadinya saya pikir kabar baik yang pantas dibanggakan ternyata adalah berita duka yang pastinya sangat menyesakkan.
Selepas makan malam dengan menu sea food khas wilayah Indonesia Timur, kami diajak jalan-jalan melihat Stadion Madya Samarinda yang sedang disiapkan untuk penyelenggaraan PON di tahun 2008. Teman dari Samarinda ini rupanya ingin membanggakan fasilitas olah raga yang dimiliki kotanya. Jadi semacam gagasan dadakan sebelum menuju ke Tepian Sungai Mahakam sebagai tujuan utama. Tak berapa lama mobil berbelok ke kanan menuju kompleks baru dengan jalan boulevard di depannya.
Awalnya saya bereaksi biasa-biasa saja karena penerangannya masih minim jadi masih terlihat gelap. Namun semakin mendekat dan semakin memperhatikan, saya berubah menjadi kagum dibuatnya. Bayangkan, fasilitas olahraga untuk event yang masih 2 tahun ke depan sudah tertata cukup rapi. Persis di tengah kompleks, di ujung boulevard, berdiri megah stadion madya yang berdesain modern. Di sisi kanannya berdiri wisma atlet yang dari segi fisiknya layak masuk kategori hotel bintang empat. Nggak kalah dengan Hotel Atlet di Senayan, apalagi dibanding dengan Hotel Nirwana di Pekalongan. Belum lagi stadion indoor di sisi kirinya yang nampak sudah siap dimanfaatkan. Dan memang, dari kejauhan terlihat aktivitas beberapa pemuda sedang latihan seni, sementara kelompok pemuda lainnya sedang berlatih beladiri. Wah..wah hebat ya, apalagi dari koran lokal ternyata sedang ramai dibicarakan tentang pembangunan stadion utamanya. Kalau begini sih bukan saja PON, tuan rumah Sea Games pun cukup layak.
Kembali ke laaaptop …….., eh insiden di Pekalongan, karena penasaran esok paginya saya cari berita di TV. Kebetulan beberapa stasiun TV dan bahkan koran lokal memberitakannya jadi saya mendapat gambaran yang cukup jelas. Dari rangkuman berita dapat saya simpulkan bahwa penyebab utamanya adalah minimnya kapasitas dan fasilitas stadion serta ulah penonton yang tergesa berebut ke luar stadion. Kemudian salah satu poin penting temuannya adalah bahwa insiden yang serupa kerap terjadi pada penyelenggaraan konser di stadion terbuka. Hal ini bisa terjadi karena penonton tak bertiket biasanya memaksa masuk sehingga memicu kerusuhan.

Andai Ku Tahu
Kapan Tiba Ajalku
Ku akan memohon
Tuhan tolong panjangkan umurku

Andai Pekalongan punya stadion indoor, akankah Tuhan menunda ajalnya? Wallahu ‘alam. Manusia tak akan pernah tahu kapan ajal akan menjemput. Yang bisa dilakukan hanyalah berencana dan berbuat sebaik mungkin, sedang Tuhan jualah yang menentukan. Terlepas dari kebutuhan meminimalkan risiko dalam konser-konser musik, Pekalongan memang sudah selayaknya mempunyai stadion tertutup terutama stadion indoor. Tidak perlu sebesar Samarinda yang memang kaya SDA sehingga PAD-nya melimpah dan tidak juga seperti kota-kota besar lainnya, tapi cukup stadion yang pas dengan kebutuhan dan sesuai kemampuan pemkot.
Ada banyak alasan kenapa stadion indoor dibutuhkan. Keamanan yang lebih terjamin, kualitas acara yang lebih menjanjikan dan yang tidak kalah penting adalah faktor kebanggaan bagi warganya. Bukankah stadion indoor (GOR) bisa menjadi landmark kota. Sedang dari segi pemanfaatannya, seabreg acara bisa diagendakan. Tidak sekedar konser-konseran, tetapi juga dapat menjadi ajang unjuk kreativitas warganya, expo, pameran buku dll, acara sosial dan keagamaan serta event-event olahraga.
Dan demi waktu, kebutuhan itu adalah suatu keniscayaan. Nah nimbang sekedar berharap dan tidak ada tindak lanjutnya, bukankah sebaiknya para alumni yang merintisnya. Dengan segenap potensinya para alumni dapat menggagas dan mendorong pemkot untuk memprioritaskan pembangunannya. Syukur-syukur bisa menyodorkan proposal, desain dan penggalangan dana pendampingnya. Bagaimana alumni dan bagaimana Pemkot dan DPRD?
Semoga saja insiden di Kedungwuni ini merupakan insiden berdarah yang terakhir di Pekalongan. Kami ikut berduka.

Budayakan Makan Ikan

Kalau para alumni atau Orang Pekalongan (Opek) ditanya apa yang terkenal dan dibanggakan dari Pekalongan, saya haqul yakin rata-rata akan menjawab: batik. Jawaban ini sah-sah saja karena banyak aktivitas di sekitar kita yang berkaitan dengan perbatikan. Aktivitas dari produksi sampai dengan pemasarannya demikian mencolok ada di sekitar kita. Kondisi ini makin dipertegas dengan maraknya grosir batik belakangan ini. Bisnis batik yang sempat meredup akhirnya benderang kembali. Makanya pantas saja kalau predikat kota batik disematkan.
Predikat Pekalongan sebagai kota batik rupanya cukup membanggakan Opek dan khususnya para alumni. Demi Kebanggaan ini, alumni yang tidak berkaitan dengan bisnis batikpun kadang secara tidak sadar menjadi duta batik. Ada yang sekedar promo tak langsung dengan sering berbusana batik, menjadi agen informasi dan agen tak resmi atau menjadikan batik sebagai buah tangan kepada tetangga atau relasi di rantau. Semua dilakukan demi mencitrakan dan mengaktualisasikan diri sebagai warga kota batik.
Selain batik, sebenarnya ada hal lain yang patut dibanggakan dari Pekalongan yaitu produksi ikannya. Sayangnya, untuk hal yang satu ini agaknya sering dilupakan. Padahal ikan secara simbolis telah diekspresikan dalam lambang kota berupa gambar ikan disamping gambar canting. Jadi disamping sebagai kota batik, Pemkot Pekalongan seakan juga ingin mencitrakan diri sebagai kota ikan. Tapi boro-boro bangga, bicara ikan saja rupanya kurang menarik bagi Opek. Maklum, ikan kadung dipersepsikan sebagai barang murahan. Akibatnya perilaku masyarakat Pekalongan kurang menghargai ikan. Misalnya, menjamu atau nraktir tamu dengan hidangan ikan dianggap kurang menghargai karena ikan lebih pantas jadi pakan kucing. Beda kalau misalnya menjamu dengan hidangan ikan dengan konotasi lainnya yaitu ikan (iwak) ayam, iwak kebo dan iwak wedus. Pokoknya kalau sudah daging dianggap ngajeni meski tempatnya amigos dan mewah. Lho? Ya maksudnya agak minggir got sedikit dan mepet sawah.
Entah karena faktor gengsi yang salah kaprah atau faktor lidah, menu favorit Opek akhirnya tidak jauh dari daging-dagingan. Sederet menu favoritnya bisa ditelusur pasti berbahan utama daging seperti tauto, opor, daging semur, daging srundeng, sate dan gule serta garang asem. Kalaupun ada selipan menu ikan paling ya gereh alias ikan asin. Aneh kan, warga kota ikan tapi nggak suka mengkonsumsi ikan. Sapa sing salah? Berbeda dengan Opek yang tidak menghargai ikan, sebaliknya orang timur demikian bangganya dengan ikan. Dalam soal hidangan, orang timur demikian bangga dan menyukai menu-menu yang serba ikan. Di Manado misalnya, ikan yang di Pekalongan dijuluki pindang kemaren (kesan tidak segar) diolah dengan demikian menyegarkan dan diberi julukan yang demikian membangkitkan selera: ikan today. Nyatanya memang seger dan manis, makanya cukup dicocol sambel cabe irisan (rica-rica dan colo-colo) enak sudah. Di Ambon lain lagi, ikan kakap yang disop dengan tambahan potongan tomat dan jahe ternyata juga memberikan aroma dan rasa yang sama nikmatnya. Di Sorong juga demikian, ikan dengan bumbu tauconya menjadi menu favorit di salah satu resto terkenal di kota itu. Di Jayapura malah lebih fanatik lagi, jamaknya jatah ikan bakar buat satu orang dewasa minimal 1 kiloan per orang. Gueedi nemen. Padahal di Pekalongan sekalinya belanja ikan 1 kilo bisa buat satu keluarga ya.
Nah kenapa mereka bisa demikian bangga dengan ikan sedang kita Opek tidak? Kalau alasanya karena sumber daya alamnya, potensi Pekalongan sebenarnya tidak kalah besarnya. Sebagai bukti TPI Pekalongan mempunyai omzet terbesar kedua di Indonesia. Posisinya hanya kalah dengan TPI Muara Karang yang notabene berada di Jakarta yang menjadi pusat perekonomian. Dengan kata lain, produksi atau peredaran ikan di Pekalongan berarti di atas kota-kota utama di Indonesia Bagian Timur.
Memang di Pekalongan belakangan sudah ada resto dengan menu utama ikan di pantai dan café tenda di Senteleng. Tetap saja, saya melihat keberadaannya belum sebanding dengan potensi ikannya yang melimpah. Sebagaimana batik dengan grosirnya, untuk ikan mestinya juga ada penanda atau landmark-nya dengan keberadaan sentra makanan dengan menu ikan. Jadi suatu waktu kelak, para tamu atau alumni yang pulang kampung tidak saja penasaran berburu batik tapi juga penasaran mencicipi hidangan ikan ala Pekalongan. Sate ikan atau Ikan bumbu taucokah?
Kapan kesampaian? Wah ini tentu membutuhkan waktu yang panjang karena merupakan kerja besar yang mesti melibatkan opek, toma/toga dan tokoh pemda. Utamanya untuk merubah perilaku masyarakat yang berkaitan dengan persepsi yang keliru tentang ikan. Tapi bagaimana dan darimana dimulai? Kalau caranya sih bisa dimulai dari saling melempar gagasan baik melalui media komunikasi atau dalam forum pertemuan dari Opek atau alumni yang peduli dengan Pekalongan. Gagasan bisa dimulai dari ide-ide yang sederhana bagaimana cara membudayakan ikan di Pekalongan. Soal tempat nggak mesti di pelabuhan atau pantai kan. Amis. Bagaimana soal tempat saya usul di warung taoto saja. Tauto kan makanan khas Pekalongan. Di PPIP sebenarnya ada tauto yang paling enak sedunia tapi sayang amigos jadi bagaimana kalau di Klego saja. Jare enake sakpore dan tempatnya agak jembar. Jadi sambil bincang membudayakan ikan kita bisa selingi dengan makan tauto. Dasar.

(Bandara Hasanuddin, tengah malam)