Showing posts with label Nostalgia. Show all posts
Showing posts with label Nostalgia. Show all posts

Friday, August 10, 2007

Mbelgedes

Sekitar setengah tahun yang lalu, ketika bertandang ke ruang Ibu Sri Wiharti atasan saya, tiba-tiba saya ditunjuki foto dan ditanya: “Rif, kamu kenal ini?”. Ditaruhnya foto itu di atas meja kerja sambil menunjuk kepada sosok yang berdiri di barisan terdepan. Yang ditunjuk adalah gambar seorang ibu dengan wajah tirus, sanggul kecil memakai sepatu dengan hak tinggi. Sejurus kemudian segera saya mengenalinya: “kenal, ini kan Bu Pawarti, guru bahasa Indonesia”. Merasa pembicaraannya nyambung, Bu Sri melanjutkan cerita bahwa itu adalah foto reuni alumni SMA 1 Pekalongan angkatan 70-an. Saya perhatikan para alumni meski sudah pada sepuh tapi tetap memancarkan wajah ceria. Berdiri di tengah katanya adalah Dr. Suhardjo mantan Dekan FMIPA UI yang bertindak selaku tuan rumah.
Berawal dari foto itu, pikiran saya tiba-tiba menerawang jauh ke belakang menembus sekat jarak dan waktu. Ya, sosok Bu Pawarti seakan hadir dan waktu yang berbilang puluh tahun berlalu serasa baru kemarin sore. Begitu membekas, karena saya mempunyai pengalaman tak terlupakan.
Pagi itu, mengawali pelajaran, Bu Pawarti meminta para murid mengumpulkan jawaban PR ke mejanya. “Masya Allah”, batinku. Saya baru tahu kalau sebenarnya hari ini ada tugas yang harus dikumpulkan. Dalam kondisi panik, saya kumpulkan saja bukuku meski tanpa jawabannya. Memang dasarnya orang teliti ya, semua buku dihitung dan ternyata kurang satu. Segera saja Bu Pawarti berteriak lantang: “Siapa yang belum mengumpulkan!”. Setelah terdiam agak lama, akhirnya ada teman wanita - sebut saja Rini - yang mengaku belum mengumpulkan. Karena ketika ditanya nggak bisa menjawab alasannya, mungkin juga karena grogi, Rini akhirnya distrap maju ke depan.
Demi melihat kemarahannya, saya jadi was-was bagaimana seandainya beliau tahu bahwa buku saya bodong. Tentu akibatnya akan lebih fatal buat saya. Ibarat pelanggaran lalu lintas, saya bisa dikenai sanksi dua pasal. Dalam benak berkecamuk pilihan untuk ngaku atau diam pasrah saja. Tokek punya tokek, akhirnya saya putuskan maju ke depan dan ngaku belum mengerjakan tugas.
Terlambat. Rupanya Bu Pawarti justeru semakin naik pitam karena merasa nyaris dibohongi. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saya dan Rini didamprat di depan kelas. Suasana kelas jadi tegang dan kami berdua jadi tontonan gratis. “Mbelgedes kamu, sana keluar …. nggak usah ikut pelajaran lagi dan sampai ketemu di bangku EBTA”, katanya dengan penuh kemarahan. Seketika kami berdua kaget dan panik. Bagaimana tidak, wong Bu Pawarti itu terkenal killer. Konon sudah banyak korban dari kelas-kelas sebelumnya. Tanpa banyak bicara, pokoknya cepet-cepet keluar dari kekalutan, kami berdua terpaksa meninggalkan kelas. Segera terbayang bakal jadi veteran di kelas III. Waduh….. nasib, nasib. Di luar kelas, sambil duduk di undakan menghadap lapangan basket, saya hanya bisa duduk termangu menyesali kejadian ini. Sementara di sisi saya, Rini tak kuasa menitikkan air mata. Duh….semakin bersalah rasanya. Bagaimana tidak, mungkin kalau saya dari awal ngaku seperti dia mungkin nggak sampai begini kejadiannya. Saya jadi serba salah.
Untunglah beberapa teman IPA 4 yang melihat kejadiannya (Boni/Rudi/Yani?) memberi simpati terutama menenangkan Rini. Lama kami berdiskusi dengan teman-teman untuk membahas segala kemungkinannya. Atas saran teman-teman, kami berdua sebaiknya segera mengakui kesalahan dan meminta ma’af. Pokoke nggak perlu berdalih macam-macam lagi.
Sesuai saran, jam istirahat kami berdua menghadap Bu Pawarti di ruang guru. Di bawah tatapan guru lainnya, kami berdua meminta ma’af atas kejadian tadi dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Beruntung, emosi Bu Pawarti cepat reda dan tanggapannya sangat melegakan. Beliau mema’afkan dan memberi nasihat-nasihat kepada kami berdua. Plong rasanya.
Beberapa minggu kemudian, Bu Pawarti memberi tugas untuk membuat paper perorangan. Sewaktu dikumpulkan dan kemudian dibahas di kelas, ee….paper saya - dengan topik kalau tidak salah Pertanian Tanaman Pangan - kena sampling. (Waah, ngetes nih). Hasilnya sih katanya bagus. Tapi ya terang ajalah wong saya menyusunnya ekstra serius. Sebagai manusia, biar ndeso, kan nggak mau terperosok dalam lubang yang sama.
Demikianlah, memang begitulah gaya mendidik beliau. Disiplin keras agar muridnya menjadi orang yang berguna, tidak mbelgedes.

Gimantologi

Istilah itu sebenarnya muncul secara nggak sengaja diantara kami, siswa kelas 1 tahun 82-an. Ketika itu ada pelajaran unik yang kebetulan diajarkan oleh Pak Soegiman yang mempunyai gaya mengajar yang juga unik karena di luar pakem. Istilah GIMANTOLOGI rupanya cukup populer waktu itu dan mampu menembus sekat kelas. Buktinya, Mayit angkatan 84 memasang cutting sticker dengan istilah itu di tutup rantai motornya. Soal keunikan pelajarannya sendiri ceritanya begini. Ketika itu, pada awal masa persekolahan di SMA 1 Pekalongan, kami mendapat pelajaran kalau nggak salah GEOGRAFI. Ya, pelajaran pengetahuan umum karena para siswa belum memasuki masa penjurusan. Materi pelajarannya kan seharusnya berkisar masalah ilmu kebumian. Tapi entah kenapa, yang diajarkan banyak berkisar tentang astronomi atau tepatnya pada fenomena Gerhana Matahari Total (GMT).
Hampir satu semester lamanya, kami diajarkan dari a sampai z tentang GMT. Maklum waktu itu memang menjelang terjadinya GMT di Indonesia yang juga bakal melintasi wilayah Pekalongan. Tapi repotnya, ketakjuban beliau atas fenomena ini terbawa dalam mengajar. Karenanya beliau nggak taat lagi pada yang namanya silabus. Wah, akhirnya kita jadi mulai bertanya-tanya, apa memang begini materi Geografi? Sedang soal keunikan dalam mengajar adalah dalam cara menyampaikan atau bertuturnya yang tidak lazim. Setiap beliau masuk kelas langsung menulis besar-besar di papan tulis: GMT. Setelah itu beliau diam sejenak sambil menatap para siswa di kelas. Kebetulan beliau mempunyai penampilan yang formal, jarang humor dan dengan raut muka yang serius. Kami jadi agak tegang dibuatnya.
Situasi begini biasanya membuat kami salah tingkah. Makanya beberapa teman ada yang menyiasatinya dengan pura-pura sibuk menyiapkan peralatan sekolah. Lainnya, kadang bisik-bisik dengan teman se meja. Wah pokoknya kikuklah.
Ketegangan baru mereda setelah beliau memulai pelajarannya. Apalagi beliau mempunyai teknik mengajar yang mampu menyedot perhatian siswa. Meski tampil tanpa teks dan buku acuan pokok, beliau sangat fasih dan lancar mengurai materi terutama GMT. Runtut mengurai dan tetap mampu menjaga ritme dan intonasi. Wah nikmat, kami jadi terbuai olehnya. Tapi yang namanya kenikmatan atau kesenangan kan pasti ada batasnya. Demikian juga dengan pelajaran yang satu ini. Meski awalnya memukau tapi karena materinya monoton akhirnya kami bosan juga. Pelajaran yang mulanya ditunggu-tunggu sekarang malah jadi momok. Parahnya, bahkan mendengar kata geografi saja disebut, kami-kami yang biasa duduk di belakang (arif, adianto, zaenuddin cs) sudah langsung mules. Tapi gimana lagi wong namanya SMA kan nggak bisa pilah-pilih pelajaran dan harus nurut sama gurunya. Nah untuk mengatasi kejenuhan ini kami secara iseng-iseng mencairkan suasana dengan memberi nuansa yang lebih segar agar tidak lagi membosankan. Dari sekedar guyonan akhirnya ketemu istilah yang makin mengkristral. Muncullah istilah Gimantologi. Frasa Giman diambil dari nama gurunya, sedang (to)logi menunjukkan ilmu yang diajarkan. Intinya: ilmu yang ada kalau Pak Soegiman sebagai pengajarnya. Hasilnya lumayan efektif. Bila sebelumnya kami lesu setiap melihat kedatangan Pak Giman, sekarang kami jadi tersenyum simpul karena istilah Gimantologi yang disebutkan sebagai sosok yang datang. Memang istilah ini akhirnya mampu mencairkan suasana karena terkesan segar dan bernada humor. Ibaratnya, badai yang menjadi sosok menakutkan akan terkesan bersahabat karena diberi nama Katrina misalnya. Demikian juga badai GMT dalam pelajaran Geografi menjadi lebih menarik karena diistilahkan Gimantologi.
Takzim kami untuk Pak Soegiman.

Kenangan Hilang karena Maunya Ekstra

Kelas kami di IPA 3 termasuk kelas yang dolan jalan. Seingat saya, acara jalan bareng sudah beberapa kali diadakan. Dari yang deket-deket saja ke nDoro atau yang agak jauhan yaitu ke Kopeng dan malah pernah sampai ke ujung timur Pulau Jawa. Dari serangkaian acara jalan-jalan, acara yang terakhir seakan menjadi puncaknya karena berlangsung di liburan terakhir sebelum kelulusan. Acara makin meriah karena kami melibatkan guru favorit (Pak Tri dan Pak Agus Mery).
Karena jauh, acara jalan-jalan ke Jatim lebih membutuhkan persiapan ekstra. Nah buat cowok, konotasi persiapan kan nggak jauh dari duit. Maklum, perjalanan yang direncanakan 2 hari 3 malam tentu membutuhkan pengeluaran lebih. Biaya perjalanan, makan dan uang saku kudu disiapin (masih untung ya waktu itu belum kenal biaya pulsa). Padahal bekal dari ortu kan terbatas. Jadi untuk menyiasatinya harus pinter-pinter milih skala prioritas.
Dari beberapa kebutuhan, mengabadikan kenangan dengan berfoto merupakan prioritas utama buat saya. Nggak tahulah, pokoke seneng aja. Akhirnya demi berhemat, saya pilih beli film isi 24 saja dengan pertimbangan: murah harganya dan hemat cuci cetaknya. Konsekuensinya, saya harus membagi ruang untuk beberapa lokasi obyek wisata yang bakal dikunjungi.
Sore itu menjelang keberangkatan, saya pasang film yang baru saya beli dari Toko POP ke Canon AF II. Biasa, untuk menyiasati keterbatasan film, saya pakai trik pasang yang minimalis. Maksudnya, tempel sedikit ujung film ke gerigi pemutar lalu tutup dan pencet tombol shutter, seerrrr …. Film muter tapi pinggirannya yang hilang sedikit. Jadinya film yang mestinya isi 24 bisa jadi 26 atau 27. Lumayan kan dapat ekstra. Esoknya, aksi jepret-menjepret dimulai. Kebon Binantang Wonokromo adalah obyek wisata pertama yang kami kunjungi. Banyak momen kebersamaan saya ambil gambarnya di sini. Di satu kesempatan saya jalan bareng rombongan cowok, apin, odo’, mbincung, untung, yos dll dan tak lupa ambil gambarnya, jepret. Di kesempatan lain saya ikut rombongan cewek, wiwied, qq, wahyuni dll, … jepret. Ramene pooor, malah di depan taman buaya kami sempat foto bersama,…jepret..
Sore hari setelah dari wonokromo, perjalanan dilanjutkan ke Pantai Kenjeran dan malam harinya jalan lagi ke Pasar Wijaya. Ketika yang lain pada jalan entah kemana, saya fokus aja ke toko kaset. Hasilnya sebanding, di sini saya menemukan kaset yang saya cari: album best of the best dari deep purple. Sedang arie tak mau kalah karena sasarannya album very best of the best dari grup favoritnya. Pokoke enake ben tekel pitu. Di hari kedua, perjalanan diteruskan ke Batu di Malang dan Makam Bung Karno di Blitar. Di kedua tempat ini aksi jepret-menjepret masih saya lanjutkan sekalian menghabiskan sisa film yang tinggal sedikit. Saat indikator film sudah di angka 26, saya berpikir inilah batas akhir film yang saya pasang. Makanya saya minta temen-temen beraksi di tengah jalan dengan pemandangan pedagang kerajinan dan oleh-oleh di kiri kanannya. Jepret sekali dua kali. Beres?
Deg… deg…. tiba jantungku berdetak. Kok filmnya nggak habis-habis saat dipencet padahal posisi sudah di ekstra. Mestinya, kalau habis kan pemutar otomatisnya akan berhenti karena rol film sudah habis tergulung. Lha ini kok ngeblong bae.
Bayangan buruk tiba-tiba saja melintas: “jangan, jangan …filmku…”. Dalam kondisi panik, saya menduga-duga mungkin rol filmnya nggak nggulung. Tapi terlambat. Dengan terburu-buru saya buka, dan yaaaa… benar saja, ternyata filmnya slip di geriginya jadi rol film nggak mau muter. Wah, lemeeess sudah. Temen-temen juga kelihatannya ikut kecewa.
Memang sih filmnya nggak sia-sia karena masih bisa dipakai lagi. Tapi nilai kenangan di wonokromo, kenjeran dan di batu itu lho yang nggak tergantikan. Bayangin aja, aksi di beberapa tempat terutama jejer saudara tua alias kunyuk di wonokromo jadi sia-sia. Belum lagi momen di kebun apel dekat Selekta yang suasananya nggak ditemukan di Pekalongan dan sekitarnya. Hijau, sejuk dan sedikit berkabut karena menjelang sore. Nimbang blas nggak ada kenangan terpaksa film saya pasang lagi. Biar yakin, temen-temen terutama apin ikut membantu dan kami berfoto lagi untuk kesempatan terakhir bahkan di detik-detik kepulangan. Malam harinya, meski ada kesempatan berfoto lagi saat di rumah makan MeWah, saya sudah nggak bernafsu lagi. Soalnya maksudnya Mepet saWah.Sejak saat itu saya jadi berhati-hati kalau masang film. Bagaimana jadinya kalau gagal lagi padahal untuk momen yang lebih penting. Beruntunglah pengalaman seperti saya jarang terjadi lagi di masa sekarang. Soalnya tinggal jepret, langsung preview. Jadi, nggak lagi kehilangan kenangan karena mikirin ekstra.

Mbah Anjut

Lazimnya anak usia remaja (bahasa gaulnya ABG), di SMA 1 Pekalongan ada beberapa teman yang mempunyai nama gaul tertentu. Misalnya ada anak yang dipanggil Bandot, Mayit dan mblezdrek. Mereka fine aja meski sebenarnya berkonotasi miring. Nah di kelas III IPA 3 angkatan 85 juga ada teman yang mempunyai nama gaul. Namanya Anjut. Namanya populer jadi cukup menyebut nama gaulnya, teman-teman sekelas pasti tahu siapa yang dimaksud.
Tentang kenapa tiba-tiba muncul nama gaul Anjut sebenarnya cukup membingungkan saya. Soalnya jauh panggang dari api. Anjut itu kan berarti antem atau jotos. Padahal perilakunya jauh dari kesan beringasan yang suka melempar jotosan. Lo orangnya kalem dan nggak marahan kok. Tapi kalau diinget-inget sih ini mungkin karena ulahnya trio cah pinter: Hery, Muslihin dan Husni. Mereka bertiga memang agak usil ngerjain Anjut. Bak sansak, Anjut sering jadi bahan anjutan. Tapi dasar Anjut, diusilin macem-macem ya anjut eh… lanjut aja.
Mungkin karena nggak puas dengan proyek pertama, mereka kemudian membuat proyek kedua. Buktinya, dari mereka bertiga tiba-tiba Anjut dapat tambahan nama baru Pak De di depannya. Wah ada apa ini? Apa ada kaitannya dengan Pak De pembunuh Ditje? Usut punya usut rupanya karena Anjut sudah punya ponakan makanya berpredikat Pak De. Jadi lengkapnya Pak De Anjut.
Waktu itu saya berpikir apa masalahnya? Anak seumur SMA punya ponakan kan mestinya biasa. Tapi…. sesaat kemudian baru tersadar. Biasanya kan paling jadi Om/tante atau Paklik/bulik. Lo Anjut ini kan Pak De, jadi berarti punya ponakan dari adiknya. Wah pantesan kali ini Anjut jadi agak kena. Merasa penasaran dengan berita itu, Saya dan Apin silarurahmi ke rumah Anjut dengan tujuan sampingan: ngecek kebenarannya. Kami berangkat sore hari dengan berkendara Super Cub. Karena jaraknya cukup jauh yaitu di Kedungwuni dan pake putar-putar nanya segala, kami baru sampai ke rumahnya kira-kira lepas maghrib. Untung Anjut ada di rumah.
Awalnya Anjut agak kaget dengan kedatangan kami. “Ada apa nih?” Mungkin demikian pikirnya. Setelah ngobrol sana-sini sambil mancing-mancing ke pembicaraan keluarga akhirnya Anjut tahu arahnya. Biasa, meski merasa disidak reaksinya mesam-mesem aja. Tak lama kemudian kami diperkenalkan dengan adik, ipar dan ponakannya yang kebetulan masih tinggal serumah. Di luar dugaan kami, rupanya mereka tidak memendam perasaan sungkan sama sekali. Menyambut dengan, istilahnya nyedulur. Malah kemudian kami diajak berlama-lama dengan dihidangi makan malam segala. Wah jadi malu nih.
Sejalan dengan sikap di rumahnya, hari-hari berikutnya di sekolah (entah karena faktor apa) keadaan mulai mencair. Anjut yang tadinya agak kena kemudian mulai kembali ke karakter semula. Siap dianjuti. Predikat Pak De rupanya sudah diterima dengan legowo. Akhirnya kami teman sekelas kembali tanpa sungkan-sungkan memanggilnya dengan nama gaulnya: Pak De Anjut.
Kini setelah 21 tahun berpisah, nama Pak De Anjut masih melekat dalam ingatan. Saking lekatnya, sampai sekarang saya masih gagal mengingat-ingat nama sebenarnya. Dalam kebuntuan malah kemudian terpikir tentang proyek yang ketiga. Logikanya, kalau mereka semua diparingi slamet dan kewarasan, keponakannya mungkin sudah punya anak kan. Jadi sekarang tentunya sudah pantas dapat julukan baru: Mbah Anjut. Ueeedan man, Rosa…..rosa.

Mblezdrek

Ingatlah suaranya, maka kau akan kenal orangnya. Pelajaran ini saya peroleh dari perjumpaan dengan teman lama di Stasiun Gambir. Waktu itu saya ada keperluan menjemput orang tua yang naik kereta Fajar Utama. Saat perhatian saya tertuju pada orang tua karena mengeluh tentang keterlambatan kereta, tiba-tiba seseorang menepuk pundak sambil memanggil nama saya. Masih dalam kondisi terkaget saya menengok ke belakang. Eh, ternyata Tri Harantyo, teman kuliah yang juga alumni SMA Negeri 1 (bedanya dia di Jakarta). Sambil tertawa dia bercerita: “Tadi saya lagi jalan ke sana (sambil menunjuk ke arah selatan), tapi denger suaramu pas lagi ngobrol dengan bapakmu. Saya penasaran, kayaknya kok kenal?”. Hebat, feelingnya pas. Segera saja saya mengulurkan tangan memberi salam karena salut dengan keputusannya.
Setelah ngobrol sebentar dan memberi salam ke bapak yang kebetulan sudah dia kenal, Tri pamitan karena juga ada keperluan menjemput mertua. Meski telah berpisah, saya tak habis-habisnya merasa takjub. Subhanallah, manusia ternyata memang dianugerahi ciri-ciri fisik yang sangat spesifik. Hanya dari frekuensi suara, seseorang yang sudah lama tidak ketemu masih bisa mengenali. Luar biasa kan.
Di lain tempat dan suasana, kekhasan suara seseorang juga pernah menjadi perhatian saya. Di komplek tempat tinggal, saya mempunyai tetangga beda RT (tapi masih satu RW) yang mempunyai suara dan logat bicara yang khas. Namanya Markalis, muka dan kulitnya bersih, cocok dengan namanya. Tetanggaku ini kalau bicara selalu bikin segar suasana dan kalau nyeletuk bikin geeerr orang-orang yang mendengarnya. Hobby nyeletuknya makin lepas terutama kalau lagi senggak-senggakan antar suporter dalam pertandingan Agustusan. Dibanding dengan celetukan yang lain: yang logat batak, betawi, sunda atau jawa timuran, celetukan ala markalis rasanya yang paling kena di saya. Rasanya memberi nuansa lain yang selama ini telah hilang.
Pernah suatu ketika saya dan dia ketemu sebagai lawan tanding partai ganda bulutangkis. Biar masing-masing teman pasangan main serius, kita berdua bukanya ngotot-ngototan adu smash, eee.. malah guyonan layaknya teman lama. Heran, teman bukan saudara apalagi kok terasa klop aja. Makanya kadang-kadang saya mikir: “apa sudah pernah kenal sebelumnya?” DEJA VU, rasanya pernah liat. Tapi pikiran itu biasanya cepat saya buang karena kalau dari namanya saja sudah terasa asing, nggak umum orang pesisiran. Orang Pekalongan kan biasanya pakai nama-nama berbau muslim: Rozak, Syukur, Muslihin, Kasbulah. Paling banter yang mirip adalah Markaho bekas lurah Klego. Meski mirip tapi kan bukan berarti mesti ada hubungannya, jadi tetap saja asing bagi saya. Apalagi saya nggak ada yang kenal dengan anak turunannya Markaho. Kalau begitu pelajaran: Ingatlah suaranya, maka kau akan kenal orangnya tidak berlaku dong.
Tunggu dulu. Namanya kesan pertama rupanya nggak bisa dicolong. Istilahnya: BLINK.Hari itu, minggu-minggu awal setelah lebaran saya kebetulan ketemu Markalis di SD Al Fajar karena sama-sama mau njemput anak. Karena suasana lebaran, maka kami salam-salaman saling mema’afkan. Umumnya orang rantau, maka kami saling bertanya soal mudik yang baru berlalu. Obrolan demi obrolan berlanjut sampai akhirnya kami baru menyadari bahwa kami berdua ternyata satu kampung. Saya dari Noyontaan, Markalis dari Krayak. Ooooalah, pantesan orangnya grapyak.
Ketika obrolan makin menjurus keterkejutan saya makin berlanjut.
“Arif dulu SMA-nya mana?” katanya menanyakan asal-usul sekolah.
“SMA 1” Jawab saya yang langsung di potong,“wah podo, aku angkatan 86” katanya yang terus disusul tawa khasnya.
Sampai di sini sebenarnya rasa penasaranku sudah terjawab, berarti ingatan suara dan tawa khasnya hanya kebetulan kena di feeling karena kami berdua satu almamater.“O, kalau aku angkatan 85” jawabku bangga karena berarti aku kakak kelasnya. Tapi di luar dugaanku, markalis malah makin sumringah mendengar jawabanku.
“Berarti seangkatan karo mblezdrek ya”.
“Mblezdek?” pikirku agak ragu. Soalnya apa benar yang dimaksud mblezdrek yang saya kenal? padahal dia kan adik kelas. “Apa mblezdrek sedemikian populernya?” batinku. Di tengah keraguanku, markalis cepat menyakinkan:
“Iya mblezdrek ……. (Abdul) Zahar itu kangmasku”.
Kaget saya. Haa, jadi suara dan logat bicara yang selama ini memancing memoriku sebenarnya (copy) paste dari file masternya?Mengakhiri pembicaraan, Markalis janji akan ngajak mblezdrek ke rumah saya untuk silaturahmi. Benar aja, esoknya, Minggu sore mblezdrek datang ke rumah. Dengan suara dan tawa khasnya segera membuka lagi kenangan yang terpendam. Kami berdua memang pernah sekelas di kelas 1. Di kelas itulah saya mengenal mblezdrek secara cukup dekat selama satu semester. Meski kemudian kami berpisah karena penjurusan, kami berdua masih sering bertemu di warung yang ada di gang samping selatan sekolah. Di situlah memang biasanya ngumpul anak-anak IPS. Tahu sendirilah kelakuannya.
Nah kembali ke pelajaran kita, kesimpulan: Ingatlah suaranya, maka kau akan kenal orangnya memang benar adanya. Sebab kalaupun meleset, paling banter ya ke adiknya. Dalam kasus ini kan malahan lebih baik, soalnya adiknya ternyata lebih kalis nimbang kangmasnya yang meski sudah manajer masih saja mblezdrek.