Showing posts with label Refleksi. Show all posts
Showing posts with label Refleksi. Show all posts

Saturday, September 13, 2008

Pembantu Mudik

Menjelang akhir puasa, seperti biasa, kita yang hidup di Indonesia bakal menghadapi hajatan besar tahunan, mudik lebaran. Peristiwa mudik lebaran sendiri berawal dari rutinitas perorangan ummat muslim untuk merayakan lebaran atau bubaran kemenangan setelah sebulan berpuasa, bersama orang-orang dekat dan dicintai. Hanya saja disebut mudik karena tujuannya ke udik atau tempat asalnya yang memang biasanya merupakan remote area di pedalaman atau malah pinggiran sana. Rutinitas ini berkembang menjadi hajatan besar, karena mayoritas penghuni kota-kota besar adalah kaum urban muslim yang secara kolektif menyikapi lebaran dengan mudik ke kampung halaman. Maka jadilah kebiasaan mudik sebagai peristiwa kolosal yang melibatkan sedemikian heterogen lapisan masyarakat. Istilahnya, dari pembantu sampai majikan dan dari kopral sampai jenderal semuanya ikut mudik lebaran.
Kita sepakat, mudik lebaran memang menyenangkan dan menjadi momen yang ditunggu. Tapi jangan salah, bagi sebagian orang, momen mudik lebaran justeru selalu menjadi peristiwa yang mencemaskan. Mereka itu adalah keluarga yang karena satu dan lain hal, hidupnya tergantung kepada pembantu. Terang aja, keluarga yang begini selalu diliputi perasaan gelisah karena bagi mereka sekedar dua minggu hidup tanpa pembantu, sudah merupakan bencana. Makanya, demi menutupi ketergantungan pada pembantu, saat-saat ditinggal pembantu mudik lebaran, mereka rela mengupah pembantu harian yang tarifnya cukup wah, Rp100 s.d. Rp120 ribu per hari!. Nah bagi yang berhitung-hitung, nimbang bayar mahal tanpa nilai tambah, tak sedikit yang ikutan meramaikan “mudik lebaran” walau sekedar plesir dan hidup berpindah dari hotel ke hotel. Kalau tidak, bersiap-siaplah berjibaku dengan pekerjaan rumah dengan load tinggi yang tiada habisnya. Kadang, di saat beginilah, kita baru menyadari begitu besar peran pembantu yang merupakan pahlawan rumah tangga. Tanpa bantuannya, sungguh muskil kita bisa menikmati hidup secara lebih berkualitas.
Kecemasan hidup tanpa pembantu, sebelumnya tidak menjadi masalah dalam keluargaku. Kebetulan, saya mendapat pembantu yang jarang mudik, karena dia lebih memilih menyisihkan tabungannya untuk biaya sekolah anaknya. Seperti tumbu ketemu tutup, saya tentu mendukung dan menghargai sikapnya. Sebaliknya, kadang dia malah berlebaran dengan mengundang anaknya yang datang ke rumahku. Lebih murah katanya. Karena kebiasaannya, saya biasanya justeru lebih tenang mudik karena ada pembantu yang menunggui rumah. Kadang saja, saat dia berkeinginan mudik, saya mengantar atau menjemput dari kampungya, mana yang lebih memungkinkan.
Tanpa terasa, kebiasaan itu sudah berjalan sejak sebelum kelahiran anakku yang kedua yang sekarang berumur tujuh tahun lebih. Dan Alhamdulillah, ini berarti sudah delapan tahun lebih dia mendedikasikan hidupnya untuk membantu pekerjaan rumahku dan merawat kedua anakku. Suatu pengorbanan dan bantuan yang tak ternilai, yang tak cukup sekedar ucapan terima kasih dan seamplop uang THR.
Tapi yang namanya irama hidup selalu berubah dan tidak ada yang abadi. Perasaan nyaman yang selama ini terjaga, tiba-tiba berubah karena kelahiran cucunya. Di saat anakku mulai tumbuh besar dan mulai berkurang ketergantungan padanya, datang seorang cucu dari darah dagingnya sendiri yang membutuhkan perhatian. Awalnya terlihat keraguan dan kebimbangannya ketika harus memilih bekerja untuk keluargaku atau merawat cucunya sendiri. Bekerja berarti mendapat upah sedang merawat cucunya sendiri berarti get nothing alias tangan hampa. Dan itu saya yakin menjadi pilihan yang teramat sulit baginya. Delapan tahun berinteraksi, sudah cukup bagi saya untuk mengetahui betapa sulitnya dia bakal menjalani hidup tanpa penghasilan pasti sementara anak dan menantunya sebenarnya belum hidup mandiri.
Tapi hidup juga pilihan. Kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang masing-masing menawarkan kelebihan dan kekurangan atau manis dan getir. Dan ironisnya, keluarga saya pun dihadapkan pada pilihan yang sama peliknya, membujuknya tetap tinggal atau justeru men-support untuk merawat cucu. Dan syukur, biar terasa berat, keluargaku siap legowo untuk melepas dia agar bisa merawat cucunya. Tak adil rasanya, mengorbankan hak anak dan cucunya untuk mendapat pengasuhan dan kasih sayangnya. Anehnya, justeru ketika kami ungkapkan pilihan keluargaku, pembantuku justeru menitikkan air mata, tak siap menanggung perpisahan ini.
Hari-hari perpisahan inipun semakin dekat menjelang mudik lebaran ini. Sungguh, kejadian memilukan pun terjadi. Sepertinya dia ingin menunjukkan bekas atau jejak yang dikenang atau juga menunjukkan pengabdian terbaiknya. Tanpa diminta semua perabotan dirapikan, gorden dan taplak-taplak dicuci, taman dan halaman selalu bersih. Peristiwa ini sama mengejutkannya dengan saat-saat di pertama kali hadir di keluargaku. Banyak surprise, seperti inisiatif menyiapkan handuk baru setiap beberapa hari layaknya service di hotel atau inisiatif menyiapkan cemilan, terutamanya tempe mendoannya yang membangkitkan selera. Atau hari-hari bagaimana dengan sigapnya, dia tidak saja menyelesaikan urusan dapur dan belanja ke pasar tapi juga membayarkan rekening listrik, menabung di bank atau bahkan mengantar anak berobat ke dokter.
Kini lebaran makin dekat dan kegalauan menyelimuti keluargaku. Ini tidak saja karena harus menghadapi urusan rumah tanggaku tanpa kehadirannya, tetapi juga membayangkan kehidupan pembantuku selanjutnya tanpa kepastian ekonomi, sementara, ma’af saja, secara ekonomi masih sangat lemah. Dan pastinya, perpisahan ini bakal menjadi peristiwa yang mengharukan. Tak siap rasanya menghadapinya, sungguh kejam sekali kehidupan ini. Kemanakah dia akan berlindung kala menghadapi kesulitan hidup? Wallahu ‘alam.
Tapi ya sudahlah, biarkanlah hidup seperti air mengalir. Mudik ya mudik, pembantu mudik dengan “tugas baru” menjadi satu hal, kita mudik juga menjadi hal lainnya. Harapanku, dalam kurun kurang dari sebulan ini saya sudah dapat pengganti yang sebaik dia. Pembantu yang bekerja dengan target tertentu sehingga suatu saat bisa merubah nasib kehidupan keluarganya. Demikian, sehingga perpisahannya pun menjadi sesuatu yang bermakna. Selamat jalan, Tarsiah, semoga ini menjadi pilihan terbaiknya.

Saturday, September 6, 2008

Puasa Mestakung

Puasa Ramadan adalah ibadah wajib yang, sederhananya, implementasinya menahan makan dan minum dan hubungan seks sejak matahari terbit hingga terbenamnya matahari. Perintah ini sejatinya bersifat universal dan natural sehingga sudah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu. Naturalitas ini paling tidak: Pertama, penentuan awal bulannya mendasarkan pada kemunculan hilal (first crescent) yang terjadi karena proses alamiah dari peredaran bulan dan bumi mengitari matahari. Kedua, penentuan masa puasa juga alamian karena menggunakan perhitungan saat matahari terbit dan matahari terbenam. Ketiga, menahan yang berarti mengistirahatkan organ-organ biologis ini sangat sesuai dengan fitrah tubuh manusia yang membutuhkan overhaul setelah 11 bulan mengalami kerja keras menopang hidup.
Meski bersifat fitrah dan menjadi kebutuhan, secara biologis, puasa tetaplah bukan suatu perkara. Bayangkan saja, dalam kehitudpan sehari-hari kita sudah terbiasa hidup dengan 8 gelas air minum misalnya, makan tiga kali dan tak sedikit cemilan di antara waktu-waktu itu. Lalu bagaimana dengan menahan makan dan minum sepanjang pagi hingga petang? Bila ukuran kemampuannya adalah kehidupan sehari-hari, tentu puasa pastinya sulit dan nggak terbanyangkan.
Tapi Allah sangat mengetahui kemampuan manusia dan maha mangatur segala sesuatunya. Dan kuncinya ternyata adalah niat. Dan bila niat ini sudah terpatri dalam lubuk hati orang yang beriman, seluruh organ tubuh secara alamiah akan mendukung apa yang menjadi tujuannya. Perasaan lapar dan haus yang biasanya mendera berkurang, dan sesuatu yang luar biasa menjadi biasa di bulan ramadan.
Tentang bagaimana alam mendukung niatan manusia ini mengingatkan saya pada Buku Mestakung karya Yohannes Surya dan The Alchemist karya Paulo Coelho. Surya mengatakan bila kita bertekad menginginkan sesuatu dan mencapai titik kritis, kontan seluruh semesta akan mendukung untuk mencapai keinginan tersebut. Ini dibuktikannya dengan mengantarkan siswa-siswa Indonesia dari negara sisa dunia menjadi juara olimpiade dunia. Sesuatu yang muskil terjadi. Sementara Coelho mengatakan: ”When a person really desires something, all the universe conspires to help that person to realize his dream”. Coelho tidak lagi mengatakan bahwa alam akan mendukung, malahan lebih dari itu, berkonspirasi!
Sekarang menjadi jelas, kenapa Allah memberikan perintah yang sepertinya berat namun ternyata dengan kemahakuasaannya, Allah tidak membiarkan ummatnya berjuang sendirian. Tinggal bagaimana kita memaknai ibadah puasa ini.

Friday, October 12, 2007

Lebaran Berbeda, Pilihlah yang Diyakini

Lagi, penetapan lebaran kali ini kembali berbeda. Uniknya perbedaan itu sebenarnya berangkat dari pangkal temuan yang sama yaitu bahwa pada tanggal 11 Oktober 2007 hilal sudah wujud hanya dengan catatan tidak mungkin dilihat dengan mata telanjang. Makanya ketika harus disikapi dengan kriteria hadits tentang waktu berpuasa ramadhan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Muhammadiyah tanggal 12 Oktober 2007, sedang pemerintah dengan dukungan sebagian besar ormas Islam menetapkan lebaran jatuh pada tanggal 13 Oktober 2007.
Sekali lagi, pilihan manapun terhadap dua penafsiran ini berarti mengabaikan penetapan lainnya. Kita ragu dan bimbang. Tapi dari isinilah sebenarnya kita sebagai ummat Islam ditantang untuk tidak sekedar taqlid kepada ulama. Kita dituntut untuk menggunakan akal dan nalar untuk memahami dan meyakini kemudian mengambil keputusan yang terbaik dan kita yakini.
Pangkal perbedaan dalam penetapan 1 Syawal adalah Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Berpuasalah kamu jika melihatnya, dan berbukalah bila melihatnya! Dan jika terhalang oleh awan, maka cukupkanlah bilangan Sya’ban itu tiga puluh hari!” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Masalah yang berkembang sekarang, apakah kata “melihat” masih harus dimaknai secara tekstual atau dalam makna yang lebih luas yaitu “melihat” dengan ilmu, hitungan dan keyakinan? Jadi harafiah atau maknafiah. Berikut beberapa test case yang jadi renunganku:
(1) Ayat pertama yang diwahyukan kepada Muhammad SAW adalah QS 96 ayat 1 yang berbunyi: “Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan”. Bagaimana harus memaknainya padahal tak ada bukti bahwa Nabi Muhammad SAW pernah belajar seni menulis dan umumnya orang sepakat bahwa ia buta huruf sepanjang hayat (Prof. Dr. M.M. Al-A’zami). (2) Tidak seluruh ucapan dan perbuatan Rasulullah berdasarkan wahyu sehingga selalu terbuka atas masukan. Dalam Perang Badr Kubra Rasulullah ketika memilih tempat peperangan ditanya oleh Al Habbab bin Mundzir: “Ya Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini Anda menerima wahyu dari Allah SWT yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan tipu muslihat peperangan?” Rasulullah SAW menjawab: “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan tipu muslihat peperangan”. Al Habbab kemudian mengusulkan tempat yang baik dan menjelaskan argumentasinya. Rasulullah SAW akhirnya menjawab: “Pendapatmu sungguh Baik” (Al Buthy). (3) Sebuah riwayat menyebutkan bahwa dalam 10 malam terakhir bulan ramadhan Rasulullah mengencangkan ikat pinggang. Apakah ini harus dimaknai dan diteladani dengan betul-betul mengencangkan ikat pinggang yang kita kenakan. (4) Misi utama diutusnya Rasulullah adalah untuk memperbaiki aqidah (As-Syura 13) dan akhlak (Al Ahzab 21) sehingga rasulullah kadang membiarkan perbedaan ibadah dan muamalah sepanjang tidak prinsipil. Taraweh misalnya dibiarkan di masjid sedang Rasulullah SAW di rumah. Beda dengan riba tentunya yang meski menyangkut muamalah tetapi jelas-jelas diharamkan dalam Al Qur’an (5) Islam itu mudah dan menghilangkan keraguan. Sebuah riwayat menyebutkan: “Jikalau seseorang di antaramu ragu-ragu dalam shalatnya, hingga tak tahu berapa raka’at yang sudah dikerjakannya, apakah tiga atau empat, maka baiklah ia menghilangkan mana yang diragukan dan menetapkan mana yang diyakini, kemudian sujud dua kali sebelum salam”. (6) Berdasarkan hisab, hilal sudah wujud pada tanggal 11 Oktober 2007 Pukul 12.02. Ini berarti umur bulan Ramadhan adalah 28,sekian hari. Dengan matematika sederhana, berapakah bilangan tersebut harus dibulatkan?
Satu lagi kalau boleh berandai-andai. Seandainya Al Habbab kembali datang kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan makna melihat bulan. Kemudian Al Habbab mengusulkan dan berargumentasi dengan ilmu falak (yang kita asumsikan sama akurat dan modern-nya dengan sekarang), kira-kira apa pendapat Rasulullah SAW?
Bagaimanapun, pilihlah lebaran yang anda yakini? Mudah kan.

Image: Modifikasi dari Image Anonim

Friday, October 5, 2007

Mudik

Menuju Udik. Topik ini selalu menjadi perbincangan hangat setiap menjelang akhir ramadhan. Soal kapan, kemana dan dengan apa mudiknya sampai ke soal-soal rencana di kampung halaman serta hal-hal kecil lainnya selalu menarik dibicarakan. Parahnya, ini masih ditambah dengan promosi jor-joran dari perusahaan yang memanfa’atkan momen mudik. Perhatikan aja, pagi-pagi nonton TV, baca koran atau nyetel radio dalam perjalanan kerja selalu ketemu yang namanya laporan dan iklan mudik lebaran. Begitu juga suasana di jalanan, spanduk dan baliho ikut meramaikan. Wah hebohlah. Makanya situasi begini biasanya bikin gerah dan bikin nggak konsentrasi ibadah dan kerja.
Atmosfir menjelang lebaran memang beda. Buat perantau yang rindu kampung halaman dan pengin bersilaturahim kepada keluarga, inilah saat ditunggu-tunggu. Bagi mereka, kesempatan mudik setahun sekali ini teramat sayang untuk dilewatkan. Makanya segala persiapan sudah diurus bahkan sejak awal puasa. Urusan cuti, tiket atau bengkel dan belanja oleh-oleh pokoknya sudah harus beres jauh-jauh hari. Begitu juga soal persiapan dana mudik. Mereka bahkan rela hasil jerih payahnya setahun terkuras buat mudik lebaran. Heran, kalau soal memanej dana ini, mereka yang buta akuntansi-pun paling bisa kalau bikin pos allowance mudik.
Beruntung, hiruk pikuk mudik tahun ini makin nyaman karena difasilitasi libur masal seminggu plus tambahan sangu THR. Tapi soal THR ini sepertinya cuma jatahnya para buruh dan karyawan BUMN/swasta thok. Untuk yang satu ini para pegawai negeri nampaknya nggak boleh ngiri. Mungkin pegawai negeri sudah “dianggap” tidak pantas lagi menerima THR. Barangkali karena mereka semua levelnya dianggap setara juragan. Hebat kan???
Mudik lebaran memang bikin perantau senang dan merasa menang. Yang namanya perantau kan awalnya karena mengalami kesulitan – umumnya ekonomi – di tempat asalnya. Mereka menyebar mencari penghidupan yang lebih baik di tanah rantau. Buah kerja keras dan nasib baiknya, tidak sedikit dari mereka yang menuai kesuksesan. Sukses paling tidak dalam arti memperoleh materi lebih. Mereka juga merasa menang karena mampu merubah nasib. Bila dulunya hidup serba sulit dan tidak berharga di kampung halaman kini mereka sudah berubah menjadi sosok yang hidup serba nyaman.
Hanya saja untuk merubah persepsi menjadi orang yang berharga dan dihormati, mereka kadang merasa perlu membuktikan. Nah pembuktian apalagi kalau bukan soal penampilan. Makanya mudik lebaran bagi sebagian orang merupakan kesempatan unjuk kemampuan. Mudik lebaran adalah saatnya memakai pakaian, handphone (dulu tape baru), motor atau mobil baru. Ya, pokoknya semua yang berbau simbol keberhasilan.
Mudik lebaran bagi sebagian orang juga saatnya untuk unjuk kemenangan. Dengan kekuatan uangnya mereka seakan mampu berbuat apa saja di kampung halaman. Hotel, rumah makan dan tempat hiburan mahal yang dulu nggak terjangkau sekarang jadi sasarannya. Menikmati keberhasilan atau kemenangan seakan menjadi pembenar untuk melampiaskan dendam atas ketidakmampuan masa lalu. Tinggallah orang kampung menjadi penonton kegembiraan mereka. Kadang tanpa sedikitpun manfa’at yang mereka dapatkan. Patutkah yang demikian?
Mudik dan merayakan kemenangan bagi kaum muslim sudah seharusnya mengikuti tauladan rasulullah. Sebagai seorang perantau rasulullah pernah juga mudik dari Madinah ke kampung halamannya di Mekkah. Peristiwa ini terjadi pada saat Fat-hu Mekkah pada bulan Ramadhan tahun 8 H. Tapi apa yang dilakukan rasulullah?
Rasulullah pernah juga mengalami masa sulit dan menghadapi penghinaan pada masa-masa awal dakwah Islam di Mekkah. Namun setelah merantau (hijrah) ke Madinah dan mengalami perjuangan yang penuh pengorbanan, akhirnya rasulullah memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang.
Di luar dugaan penduduk Mekkah, Rasulullah tidak memamerkan hasil kemenangannya, tidak melampiaskan dendamnya dan tidak pula membiarkan masyarakat Mekkah sebagai korban kemenangannya. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam Sirah Nabawiyah menyebutkan: “Nabi SAW saat memasuki kota Mekkah tengah hanyut dalam suasana syuhud mu’allah (khusyu’ mengingat akan karunia Allah), bukan dengan kecongkakan dan kesombongan”.Rasulullah tetap tampil bersahaja, sama sekali tidak berbangga-bangga dan jauh dari sikap aji mumpung. Musuh-musuh yang ketakutan pasrah diapakan saja malah diajaknya mengikuti barisannya dan lebih mengutamakan beribadah di Ka’bah ketimbang bersenang-senang. Sabdanya: “Bahkan hari ini adalah hari kasih sayang…..”. Begitulah sang tauladan kita mudik dan merayakan kemenangan. Mampukah kita meneladaninya?

Monday, September 10, 2007

Ramadhan Datang

Marhaban Ya RAMADHAN
Mohon Maaf LAHIR dan BATHIN
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1428H
Semoga Amal Soleh dan Ibadah Kita Semua di Terima disisi ALLAH SWT

Sunday, August 12, 2007

Indonesia Raya

Bagiku, bulan Agustus adalah bulan persatuan. Di bulan ini biasanya adalah masa ketika warga Indonesia di perkampungan dan komplek perumahan merasakan momen-momen kebersamaan. Orang yang berbeda suku, agama dan tingkatan strata sosial biasanya bersatu padu merayakan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Kebersamaan ini biasanya saya rasakan dalam bentuk kerja bakti, pelaksanaan pertandingan dan perlombaan sampai perayaan acara puncaknya berupa panggung gembira dan tumpengan.
Kebersamaan yang indah ini kadang tercemari oleh hal-hal kecil karena kesalahpahaman. Perselisihan antar warga bisa saja terjadi dalam perlombaan atau juga kasus-kasus ketidakakuran dalam pelaksanaan panggung gembira. Tapi biasanya perselisihan itu cepat reda begitu menyadari bahwa tujuan peringatan itu adalah untuk persahabatan atau mempererat tali persaudaraan. Dari sini, biasanya saya merasakan nikmatnya suasana rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi.
Namun di bulan Agustus tahun 2007 ini perasaan persatuan yang saya rasakan agak terusik dengan gencarnya pemberitaan tentang ditemukannya Lagu Indonesia versi 3 Stanza oleh Roy Suryo. Kenapa Lagu Indonesia Raya yang sudah 62 tahun mengiringi perjalanan bangsa Indonesia dan menjadi lagu pemersatu dipermasalahkan. Terus terang, setiap mendengar beritanya di berbagai media saya sampai kehabisan pikiran, tidak mengerti maksudnya. Apa perlunya diungkit-ungkit lagi? Sudah tentu namanya gubahan manusia maka sebelum jadi lagu yang sekarang tentu melalui berbagai proses. Jadi andaikan apa yang disampaikan oleh Roy Suryo benar, bagiku hal ini seakan hanya memutar jarum jam saja. Bayangkan, dengan satu stanza saja Lagu Indonesia Raya menurut Alwi Shahab sudah menjadi lagu kebangsaan yang terpanjang di dunia (3 menit 49 detik) bagaimana dengan tiga stanza. Anda bisa tebak sendiri harus dibagaimanakan temuan Roy Suryo. Terus buat apa kalau akhirnya hanya menguras energi bangsa ini yang sedang sakit menghadapi berbagai musibah.
Bagiku perbincangan tentang Lagu Indonesia Raya ini paling tidak mengingatkan kembali kepada sosok pengarangnya, WR Supratman. Ya, nama itu, Jalan WR Supratman, begitu akrab di telinga karena menjadi alamat dimana sekolahku SMP 1 Pekalongan berada. Di sekolah inilah saya mengalami perkenalan dengan materi-materi kebangsaan dan wawasan nusantara secara lebih jernih. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia, lagu-lagu kebangsaan dan pendidikan kewarganegaraan mulai saya kenal. Tujuan jelas, seperti do’a orang tua, agar anak didiknya menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Dirgahayu Indonesiaku.

Friday, August 10, 2007

Dalih Sepakbola

Seorang blogger menulis karena melalaikan sholat maghrib, Indonesia ditekuk Korea Selatan, 0-1. Dia menyoroti bahwa pemain dan penonton yang mayoritas muslim tidaklah pantas larut dalam ketegangan dan atmosfir pertandingan manakala pada waktu yang sama sebenarnya datang kewajiban menunaikan sholat maghrib. Yel-yel dan riuh-rendah sorakan penonton kenyataannya memang mengalahkan panggilan Allah yang mungkin hanya terdengar sayup-sayup di Senayan. Jadi, dalih nasionalisme melalaikan dan mengalahkan kewajiban kepada Yang Maha Kuasa.
Malam minggu sebelumnya (Sabtu, 17 Juli 2007) saya kebetulan merasakan nikmatnya atsmosfir menonton pertandingan itu. Saya sekeluarga (istri dan dua anak) menyaksikan bagaimana Indonesia harus berjibaku dengan Arab Saudi langsung dari tribun SGBK. Memasuki stadion pukul 19.00, saya masuk stadion dan mendapati kursi dan bangku sudah penuh sesak, konon dari sore hari. Kapan Sholat maghribnya? Tapi pikiran su’udzon itu cepat hilang karena segera larut dalam yel-yel suporter Indonesia. Apalagi ketika Indonesia Raya dikumandangkan dalam koor yang mengharukan dan membuat merinding bulu kuduk . Beginilah nikmatnya nasionalisme dan persatuan bangsa.
Pukul 19.35 kick off dilakukan dan Arab Saudi yang demikian difavoritkan ternyata mampu unggul pada belasan menit kemudian. Penonton terdiam dan pencetak gol melakukan selebrasi dalam sepi. Pun hanya sedikit pemainnya mengejar untuk peluk dan cium. Beberapa pemain malah memilih merayakannya dengan sujud syukur!!!
Tertinggal 0-1 Indonesia segera meningkatkan tempo permainan dan balik menekan Arab Saudi. Dengan kerjasama yang apik akhirnya Elie Eboy berhasil merobek gawang Arab Saudi dan menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Maka meledaklah stadion dengan gemuruh pekik dan sorakan penonton. Suasananya sungguh menggetarkan. Para pemain mengejar pencetak gol dan menari-nari merayakan kehebatan pencetak gol. Sialnya saat injury time Indonesia harus kebobolan lagi satu gol melalui sundulan lawan yang mematikan. Sangat menyesakkan. Beberapa pemain malah begitu down dan terbaring tak kuasa untuk segera bangkit lagi. Pertandingan kemudian dilanjutkan lagi dan tidak lama berselang peluit panjang ditiup dan Indonesia kalah 1-2. Sayang, kehebatan yang tadi ditunjukkan para pemain Indonesia mendadak sirna dan berubah menjadi sosok-sosok yang lemah tak berdaya. Untungnya, pendukung tetap memberi apresiasi positif dan berdalih bahwa kekalahannya karena faktor wasit.
Euforia Piala Asia minggu-minggu ini jadi mengingatkan masa-masa kecil dulu yang suka nonton langsung pertandingan sepakbola di Pekalongan. Tempat favorit yang jadi tujuan waktu itu adalah Lapangan Poncol karena hampir tiap akhir pekan (Jum’at, Sabtu dan Minggu) menggelar pertandingan segitiga. Tiga tim saling bertanding sehingga dalam 3 hari mereka sudah dapat saling bertemu (setengah kompetisi) dan ditentukan juaranya. Al-Hilal, PS HW, POAP dan Krapyak adalah diantara deretan klub yang menjadi favorit. Karena ada target juara ini masing-masing tim akan ngotot menang. Sepanjang positif sebenarnya malah meningkatkan kompetisi. Masalahnya kengototannya kadang ditempuh dengan cara-cara yang kurang elok, dari yang sekedar ngebon pemain sampai pada praktik perdukunan. Ngebon pemain biasanya karena dengan motif untuk memperkuat tim dengan memasukkan pemain yang tidak terdaftar dalam klubnya. Trik ilegal yang masih dianggap wajar.
Yang runyam adalah kalau sampai menerapkan praktik perdukunan. Jangan salah, praktik perdukunan ini memang ada dan pernah saya saksikan sendiri. Suatu ketika, dalam suatu pertandingan ada tim yang diperkuat kiper yang sudah berumur. Penampilannya sih tidak meyakinkan tapi begitu bertanding ternyata berubah menjadi sosok kiper tangguh yang gawangnya tidak mampu dijebol lawan. Gerakan dan teknik tangkapannya sebenarnya biasa aja tapi hebatnya bola selalu pas di posisinya atau malah melebar jauh dari gawangnya. Seakan ada sekat yang menutup gawang yang membuat frustasi pemain lawan. Sampai babak pertama berakhir gawangnya belum juga jebol. Penonton menjadi penasaran dan curiga. Kok aneh?. Nggak jelas sumbernya dan siapa yang mulai, penonton tiba-tiba mulai meneriakkan yel-yel dukun. Penonton berdalih.
Saat babak kedua dimulai gawang pak tua tadi kembali diserang dan dia meloncat dengan gerakan canggung menangkap bola. Ups, bola tertangkap dan tiba-tiba ada mawar merah yang jatuh dari ketiaknya. Sorakan penonton bergemuruh menyaksikan pemandangan itu. Pas dengan dugaannya. Seorang penonton maju dan segera mengambil mawarnya dan konon dipipisin di pojok luar lapangan. Aneh, tiba-tiba saja situasi jadi berubah. Kiper yang sebelumnya tangguh dan gagah tiba-tiba menjadi sosok yang culun dan tidak percaya diri. Tangkapan pulutnya tiba-tiba hilang dan bola-bola mudah jadi gampang masuk gawangnya. Bola atas mati, bola bawah apalagi karena malah ada bola yang masuk dari selangkangannya. Goal, goal dan goal. Penonton tertawa terpingkal-pingkal dan skor akhir tidak menjadi penting lagi. Penonton terhibur bukan karena mutu pertandingannya tapi karena dagelan perdukunannya. Begitulah wajah sepakbola di daerah.
Penggalan kisah ini menunjukkan, less divine, dalam sepakbola tim-tim yang lalai menjaga kualitas permainan dalam dua babak akan menuai hasil buruk. Ini berarti tidak cukup hanya mengandalkan do’a, bantuan suporter apalagi dukun seperti kasus di Pekalongan. Dibutuhkan kombinasi kapasitas (skill), strategi dan semangat juang. Kekalahan tim Indonesia atas Korsel dan Arab Saudi karena di atas kertas mereka mempunyai skill yang jauh lebih baik dari tim Indonesia. Kondisi ini masih ditambah dengan strategi jitu mereka memanfaatkan kelemahan kiper Indonesia. Yendry Pitoi untuk bola atas dan Markus Holison untuk bola bawah. Dan juga kiper di Pekalongan tanpa bunga mawar merah. Belum lagi kalau bicara semangat juang mereka yang terjaga sampai detik-detik penghabisan. Wajar kalau mereka memenangi pertandingan. Jadi tak perlu menyalahkan siapapun dan berdalih apapun. Tinggal tingkatkan skill dan pertahankan semangat juang maka sepakbola Indonesia akan lebih maju. Bagaimanapun saya tetap bangga dengan tim Indonesia. Penampilannya sudah cukup menghibur.

Duka Sumbar dan Yogya

Rentetan bencana seolah tiada habisnya menimpa bangsa Indonesia. Belum lagi tuntas masalah bencana-bencana sebelumnya, gempa di Sumatera Barat dan peristiwa jatuhnya pesawat Garuda di Yogyakarta menambah duka dan derita bangsa. Kita tentu merasa sangat ……sangat prihatin.
Bagi saya Sumatera Barat dan Yogyakarta seakan mempunyai arti tersendiri. Sumatera Barat adalah tempat pertama saya merasakan dunia kerja. Di sanalah, selama tiga tahun bertugas, saya sering berkelana bahkan sampai ke pelosok desa. Saking familiarnya, saya merasa lebih mengenal pelosok Sumbar dibanding Jateng, provinsi kelahiran. Sedang Yogya bagi saya adalah kampung kedua saat mudik lebaran. Kota ini biasanya menjadi pelepas kejenuhan setelah marem dan taneg di Pekalongan.
Bahwa Sumatera Barat rawan gempa sudah pernah saya buktikan sendiri. Di tahun 90-an, ketika belum sepekan di sana, saya sudah dikagetkan dengan gempa yang cukup keras mengguncang. Demikian kerasnya, teman-teman jawa seisi rumah waktu itu terbangun dari nyenyaknya tidur. Di luar dugaan, esoknya komentar orang di kantor enteng saja: “alah biaso”? Makanya, ketika di lain waktu ada gempa lagi saya berusaha bersikap biasa saja. Saya cuma bisa nggatuk2kan: pantes wong posisinya dilewati bukit barisan (ring of fire) makanya sering gempa, pantes bangunan rumahnya sudah mengadaptasi (beratap seng). Dan jejak purba sebagai daerah bencana memang bisa dilihat terutama di Ngarai Sianok Bukittinggi. Konon ngarai ini terbentuk dari rekahan bumi akibat gempa tektonik. Pasti dulu dasyat sekali, tapi hikmahnya sekarang justeru menjadi panorama yang indah.
Meski secara mental masyarakatnya sudah terbiasa menghadapi gempa, tapi gempa tanggal 6 Maret yang lalu tetaplah bencana yang mengharukan. Puluhan jiwa tak terselamatkan dan ratusan bangunan hancur karena gempa. Menyedihkannya, diantara bangunan yang hancur adalah tempat favorit saya, Pasar Ateh Bukittinggi. Dari tayangan TV saya lihat bangunan bersejarah yang berdiri tepat di depan Jam Gadang itu rusak cukup parah. Padahal dari pasar itulah roda perekonomian kota digerakkan karena menjadi sentra perdagangan kain bordir, seperti Grosir Setono yang menjadi sentra batik Pekalongan. Tentu saya turut prihatin. Bahwa Bandara Yogyakarta rawan kecelakaan sebenarnya sudah saya duga sebelumnya. Suatu ketika saya terbang ke Yogya dengan pesawat Bouraq. Saat mendarat, saya dikagetkan dengan laju pengereman pesawat yang sangat mendadak dan keras. Dari teman sebelah kemudian saya tahu bahwa hal ini dilakukan karena runway Bandara Adi Sutjipto ternyata pendek. Wah bahaya kan. Di kemudian hari memang saya beberapa kali ada urusan ke Yogya lagi tapi kebetulan naik pesawatnya waktu pulangnya saja. Anehnya kalau take off rasanya nggak ada masalah. Jadi sempat lupa bahayanya.
Nah peristiwa naas jatuhnya pesawat Garuda tanggal 7 Maret yang lalu akhirnya mengingatkan kembali pengalaman pendaratan di Yogya dulu. Dari situ saya menduga, terlepas dari temuan penyebabnya nanti, salah satu titik rawannya adalah di panjang runway-nya. Tanpa perpanjangan ya risikonya akan tetap tinggi. Apalagi sekarang banyak penerbangan low fare dengan pesawat tua yang kondisinya cuma sedikit di atas ambang bawah safety standard. Semoga saja cepat mendapat perhatian.Akhirnya, bagi korban yang meninggal saya doakan semoga mendapat tempat yang layak disisi-Nya, bagi keluarga korban yang ditinggalkan semoga diberikan ketabahan serta bagi korban selamat dan luka-luka semoga diberi kekuatan untuk segera bangkit kembali. Semoga bisa mengambil hikmahnya, Amin.

Prolog

Metamorfosis, begitu mungkin istilah tepatnya. Berawal dari keinginan untuk menjaring teman sekolah, blog ini ternyata berkembang menjadi semacam wadah untuk mengungkapkan gagasan-gagasan penulis tentang Pekalongan. Tentulah sangat subyektif karena semua gagasan ini saya tulis dari sudut pandang yang sangat jauh dari realita sekarang. Namun, harapanku minimal menjadi semacam pengingat akan nostalgi masa lalu dan menjadi alternatif gauidance bila hendak berkunjung ke Pekalongan. Dari sisi proses, blog ini paling tidak menjadi sarana penting bagi saya untuk terus berlatih menulis. Menulis dan terus menulis sampai pada suatu titik dimana kegiatan menulis menjadi sesuatu yang easy to do. Jadi, sing penting terus nulis. Syukur kalau bermanfaat.