Melati, ada apa rupanya? Ingatan saya tentang melati kembali terngiang setelah membuka web Grosir Pekalongan. Memang selama ini kalo lagi pengin tau kondisi seputaran Pekalongan biasanya saya menyambangi web ini. Isinya cukup variatif, nggak sekedar bisnis tapi juga soal-soal sosial dan pariwisata. Nah dari web itu saya baru tahu kalau melati itu sekarang sudah jadi komoditas. Dijual dari partai kecil kiloan sampai partai besar. Wah…wah…
Soal Pekalongan sebagai penghasil utama melati sebenarnya sudah saya ketahui semenjak acara pemakamannya Bu Tien dulu. Waktu itu untuk acara tabur bunga konon dibutuhkan 20 ton melati. Bayangin, 20.000 kilo dan dalam tempo sehari. Darimana? Ternyata nggak ada tempat lain yang mampu menyediakan selain Pekalongan. Wooo…rupanya dari kota ini ada lagi potensi yang belum dikenal masyarakat luas. Iseng-iseng ngitung aja, untuk menyuplai sebegitu banyak melati dalam tempo sehari berarti ada perkebunannya yang luas ya. Soalnya untuk 1 hektar kebun maksimal hanya menghasilkan 120 kilo. Jadi mestinya ada ratusan hektar kebun melati. Di mana dan buat apa ya?
Tentang lokasi perkebunannya, biar wong asli Pekalongan, saya nggak tahu persis. Seingat saya dulu ada beberapa kebun melati mulai dari Pantai Slamaran terus ke arah timur (mungkin sampai mBatang). Tapi kalau ngliat orang yang bawa panenan kok malah dari arah selatan. Dulu waktu SD saya sering ngajak balap sepeda dengan pembawa melati dari arah Posis Noyontaan sampai Hotel Nirwana. Yang pastinya seru karena mereka mau aja diajak ngebut.
Memang, pembawa melati selalu ngebut kalo bersepeda. Ini ternyata berhubungan dengan kegunaannya sebagai campuran teh untuk menambah aroma. Konon, syarat biar aromanya menyatu dengan tehnya, melati harus masih kuncup dan baru mekar waktu diblending. Makanya pembawa melati akan berusaha secepat-cepatnya mengantar. Terlambat dan mekar di jalan sudah pasti nggak berguna dan cuma jadi sampah. Buktinya, dulu di jalan Patiunus dan boom banyak tumpukan sampah melati. Ambune lumayan breng! Teh beraroma melati memang dari dulu menjadi ciri khas Pekalongan. Ditubruk langsung air panas wah, harum. Opomeneh kalo legi tur kenthel terus jajanane bolang-baling. Dijamin njedag (istilahe Farid Akhwan), klalen susahe urip.
Selain untuk campuran teh, kegunaan melati yang umum setahu saya buat hiasan. Dari hiasan untuk wong urip sampai untuk wong mati. Mungkin melati disukai karena putih bersih perlambang kesucian. Sebagai hiasan wong urip, melati biasanya banyak dibutuhkan untuk hiasan pengantin. Sedang buat wong mati, melati dibutuhkan buat peneduh makam. Makanya menjelang puncak ziarah (akhir ramadhan), di Pekalongan ada istilah pasar kembang cilik dan pasar kembang gede (?).
Mengingat potensi suplainya mestinya perlu juga dipikirkan alternatif pemanfaatannya ya. Untuk kebutuhan aroma teh, mungkin sudah perlu dipikir ulang karena teh beraroma melati sudah sunset. Sekarang orang cenderung milih rasa nimbang aroma. Sedang buat kebutuhan untuk hiasan kan sifatnya insidentil. Mungkin alternatif yang menarik kalo melati bisa diolah menjadi minyak wangi dan jadi produk masal. Cukup industri tradisional dan rumahan tapi yang penting bisa menghidupkan ekonomi masyarakat. Wah, asyik juga kan kalo nantinya ada ciri khas baru sebagai kota penghasil minyak wangi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment