Showing posts with label Alam. Show all posts
Showing posts with label Alam. Show all posts

Friday, August 10, 2007

Pinus dan Kandangserang

Teman-teman pasti sering melihat pohon pinus dihiasi untuk pohon Natal. Namun, di desaku pohon pinus justru dilukai, lo. Batangnya penuh torehan. Ih, kenapa ya? Apakah banyak orang jahil yang melukai pohon pinus?

Aku tinggal di Desa Kandangserang, Pekalongan, Jawa tengah. Desaku terletak di pegunungan. Anehnya, udara desaku tidak dingin, lo. Rupanya udara dingin pegunungan hilang karena hembusan udara panas dari laut Jawa. Ya, daerah pekalongan memang dekat laut. Namun, pohon pinus tetap tumbuh subur di pegununganku. Pohon-pohonnya menjulang tinggi di lereng gunung yang berkelok-kelok. Mau tahu, apa yang paling kusuka dari hutan pinusku?
He he he … buah pinus yang mirip buah nanas kecil. Aku kadang membuat boneka landak-landakan dari buah pinus. Sedangkan, kakakku paling suka melihat kelokan jalan yang mirip ular di lereng gunung. Dia senang duduk-duduk melihat pemandangan hutan. Nah, coba terka apa yang disukai ayahku dari hutan pinus? Apakah kayunya? Bukan, ayahku suka getahnya.
Pohon pinus memang menghasilkan getah. Tiap hari ayahku menoreh batang-batang pinus. Tidak lupa dia memasang mangkuk dari tempurung kelapa dibawah torehan itu. Bayangkan, jumlah pohon pinus di Kandangserang ada ribuan. Wah, pekerjaan ayahku tidak ada habis-habisnya. Tiap hari ayahku membuat torehan baru di batang baru. Namun, sayangnya, getah pinus menetes pelan sekali.
Ck, ck, ck, butuh waktu satu bulan untuk mengumpulkan getah sebanyak satu tempurung kelapa. Hmm, karena itu getah pinus sangat berharga. Getah ini berguna untuk bahan membuat cat.
Pohon pinus setia memberi getahnya pada ayahku, lo. Sampai batangnya sudah terlalu tua untuk meneteskan getah. Ketika tua, dia pun masih berguna. Batangnya ditebang untuk diambil kayunya. Wow, kayu itu bisa dibuat batang pensil. Wah, ternyata pohon pinus banyak gunanya. Dia benar-benar sahabat bagi penduduk desaku sampai masa tuanya.

Dikutip oleh Safira Arkandita dari Majalah Bobo No:37 21 Desember 2006

Rukyat Rasi Bintang dan Zodiak pun Berubah

Dalam artikel tentang penghitungan tahun baru yang di-posted sebelumnya saya mempersoalkan kenapa hilal dan hisab dalam penanggalan Islam malah jadi masalah. Padahal dua hal tersebut seharusnya menjadi senjata ampuh untuk meredam adanya sunatullah pergeseran dalam perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran bulan. Dalam artikel tersebut memang sengaja saya pertentangkan dengan perhitungan awal tahun baru gregorian atau masehi yang seolah sudah menjadi kepastian. Tanpa ba bi bu soal rukyat, pokoknya sehabis tanggal 31 Desember maka seoalah bersepakat akan jatuh tahun baru. Kenapa begitu saya sendiri masih bertanya-tanya dan terus dalam proses pencarian jawaban yang haq.
Sebuah artikel di Republika Senin 12 Pebruari 2007 berjudul “Zodiak pun Berubah” sedikit menjawab kegelisahan saya. Sebagaimana dituturkan oleh Taufiq Hudayat (Bosscha, ITB) zodiak pun telah mengalami perubahan sejak jaman dahulu namun sedikit demi sedikit akibat perubahan rotasi bumi. Nah masalahnya tiba-tiba saja kita dikagetkan oleh adanya perubahan perhitungan zodiak. Bila sebelumnya dikenal ada 12 zodiak maka sekarang ada tambahan zodiak baru bernama ophiuchus sehingga rentang waktu antar zodiak pun berubah.
Menurut penjelasannya, perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran posisi matahari dari sudut pandang bumi. Zodiak Libra misalnya karena posisi matahari pada waktu itu dari sudut pandang bumi sedang berada dalam rasi Libra. Dan ternyata berdasarkan perhitungan sekarang, posisi matahari tidak lagi di sana tetapi ada di rasi Virgo. Lho????
Artinya kita yang dulu merasa terlahir dengan zodiak Libra maka sekarang bisa saja berzodiak Virgo. Wah nggak enak banget kan. Jadi apakah dulu orang yang digadang-gadang memiliki karakter tertentu apakah terus akan berubah begitu saja??? Terus apakah karakter temen-temen kita dulu berarti ikut berubah? Kalau yang ini ya jelaslah, wong dulu kolokan, suka iseng dan tidak kuat pendiriannya karena masih ABG tentu sekarang sudah nggak lah ya. Barangkali, soale wis dadi wong tuwo.
Intinya, saya sekedar mau mengungkapkan bahwa perbedaan penetapan penanggalan baik dalam kalender Islam dan Zodiak (hal yang sama untuk kalender Masehi) adalah alamiah belaka dan akan terus terjadi. Keduanya memang mengandung potensi ketidakakuratan sehubungan peredaran bulan dan bumi yang tidak dalam bentuk lingkaran sempurna. Hanya saja dalam Islam, rukyat untuk melihat hilal dan hisab selalu dilakukan beriringan sedang dalam tahun masehi lebih mengandalkan hisab. Akibatnya ketika lima puluh tahun kemudian dirukyat hasilnya mengagetkan karena ternyata ada perubahan zodiak. Memang, di dunia ini tidak ada yang pasti, yang pasti adalah perubahan. Makanya, ayo berubah, berubah.

Lalu apa zodiak kita sekarang?

Berikut tabelnya:
No. Zodiak Tanggal
1 Capriconus 21 Januari-16 Februari
2 Aquarius 16 Februari-11 Maret
3 Pisces 11 Maret-18 April
4 Aries 18 April-13 Mei
5 Taurus 13 Mei-22 Juni
6 Gemini 22 Juni-21 Juli
7 Cancer 21 Juli-10 Agustus
8 Leo 10 Agustus-16 September
9 Virgo 16 September-31 Oktober
10 Libra 31 Oktober-23 November
11 Scorpio 23 November-29 November
12 Ophiuchus 29 November-18 Desember
13 Sagitarius 18 Desember-21 Januari

Apa Ophiuchus? Aneh temen.

Ciliwung dan Banjir Jakarta

“Ciliwung itu kecil kalinya tapi terkenal sekali namanya” begitu kira-kira kata Gumelar Nursanto suatu ketika. Ungkapan atau celetukan itu muncul secara spontan karena waktu itu bis yang kami tumpangi melintas di atas kali ciliwung di jalan M.T. Haryono. Memang, Gumelar suka melontarkan celetukan tentang keadaan sekitar. Kebiasaan yang saya sukai karena mencerminkan keluasaan pengetahuan dan bacaannya. Bergaul dengan dia, buat saya seperti mendapat charge-an terus tentang hal-hal baru karena Gumelar memang bisa berbicara dari soal leninisme sampai soal-soal sastra. Wah makasih banget daah.
Soal fakta bahwa kali Ciliwung itu kecil harus saya akui baru saya sadari jauh setelah ungkapan Gumelar waktu itu. Itupun karena kali Ciliwung lokasinya bersebelahan dengan Carrefour MT Haryono, langganan belanja keluarga. Biasanya memang kalau sudah bosan nunggu saya kadang jalan-jalan ke bantaran kali Ciliwung. Benar, kalinya memang kecil yang nggak lebih besar dibanding kali di belakang sekolah kita.
Nah soal terkenalnya, mungkin Gumelar tidak bermaksud mengungkapkan bahwa Ciliwung selalu menjadi pembicaraan karena sebagai biangnya banjir di Jakarta. Setahu saya, Gumelar waktu itu lebih menyoroti dari nilai-nilai historisnya atau mungkin karena sebagai barang langka di Jakarta. Kalau diperhatikan sih ada benarnya juga, di Jakarta yang namanya kali itu jarang banget. Yang banyak malah jembatan yang nggak ada kalinya. FO maksude. Jadi maklum aja kalau kali yang ada jadi sangat dikenal. Tapi whatever-lah, faktanya kali Ciliwung hari-hari ini menjadi terkenal lagi. Dari kali yang demikian kecil ternyata bisa meluapkan air demikian dasyatnya sampai membanjiri kawasan sekitarnya.
Parahnya, luapan kali Ciliwung tahun ini ternyata berimbas ke kawasan lainnya yang jauh dari kali. Kenapa begini? Banyak mungkin penyebabnya ya. Tapi kalau menurut saya sih karena secara alamiah air akan mencari jalannya sendiri, padahal alternatif kalinya terbatas. Jadi, daerah lainnya yang kebanjiran sebenarnya alamiah adanya karena air akan membuat alirannya sendiri. Nah kalau kalinya terbatas ya udah menggenang begitu aja. Dan akibatnya nggak tanggung-tanggung, bisa menyebabkan banjir setinggi mata kaki. Lho???! Ya maksudnya kalau orangnya berdiri di lantai 2 rumahnya!!!!!! Sengsara dah pokoknya.
Bila Jakarta minim kali, lain halnya dengan Pekalongan yang begitu banyak dilewati beberapa kali sekelas Ciliwung. Iseng-iseng aja kita itung mulai dari timur ada Kali Banger, terus Kali Grogolan yang mengarah ke Kali Loji, Kali Kramat Sari dan yang terbesar Kali Pencongan. Banyak kan. Makanya dengan luas area kota yang kecil, Pekalongan mempunyai rasio daerah aliran air dibanding daratannya yang lebih baik di banding Jakarta. Jadinya wajar kan kalau kali yang ada cukup efektif membagi kiriman banjir. Pengaruhnya jelas nyata karena air nggak pernah menggenang begitu lama. Alhamdulillah, dari dulu dan mungkin sampai sekarang, Pekalongan nggak pernah mengalami banjir yang demikian besar. Kalaupun ada ya paling sedikit kampung di bantaran kali.
Bagaimana banjir di Pekalongan? Seinget saya sih dulu malah jadi tontonan dan enak buat ngrubyuk jalan-jalan. Soalnya banjir ringan sih. Uuntuuung, untung, untung…untung..biar nggak terkenal tapi kalinya nggak bikin masalah. Semoga saja masih demikian. Setuju?

Selamat Tahun Baru 1428 H

Tahun baru kali ini terasa istimewa karena seluruh komponen ummat Islam merayakannya pada hari yang sama yaitu pada tanggal 20 Januari tahun Gregorian. Tidak seperti waktu menentukan awal Ramadhan, Hari Raya Iedul Fitri maupun Iedul Adha, nampaknya kali ini ummat Islam akur-akur saja. Apakah ini pertanda baik sebagai indikasi bersatunya ummat Islam atau malah justeru mengindikasikan masa bodohnya terhadap hal-hal detail dan nampak remeh?
Sekedar menganalisis fenomena saja, berarti setelah bersilang pendapat sebelumnya mendadak sontak mereka menemukan titik temu diujungnya, dengan menutup tahun 1427 H pada hari yang sama. Akhir tahun bagi yang satu adalah 30 Dzulhijjah sedang bagi yang lainnya adalah 29 Dzulhijjah. Tokoh agama yang sebelumnya mrekengkeng sekarang jadi stelkendo. Hebatnya kesepakatan ini tanpa gembar-gembor hilal atau makmum pada Arab misalnya. Padahal kata ahlinya untuk menentukan kapan tanggal 1 harus dihilal dulu baru kalau nggak kelihatan baru digenapkan 30 hari. Bukan begitu? Nah nimbang bingung mikirin hari H-nya yang dimensinya sempit, saya lebih senang dengan mengingat kejadian yang lalu.
Tentang peringatan tahun baru Islam sedari dulu hawanya memang kurang terasa. Tau-tau pokoknya sekolah libur. Apalah artinya tahun baru Islam toh sehari-hari yang dipakai tahun masehi. Tapi tidak demikian buat sesepuh dalam menyikapinya. Mereka agak mengkeramatkan hari itu sebagai perayaan 1 Suro. Mereka menyikapi bukan dalam konteks masalah penanggalan (tahun Jawanya berapa ya?), tapi peringatan sudah bergeser ke hal-hal yang agak mistis. Ada yang bilang katanya kerisnya pas jam 12 malam akan bergerak-gerak minta dimandikan kembang seteman. Di beberapa tempat untuk ngalap berkah malah diadakan sesajian khusus. Opo hubungane yo.
Kalaupun ada kenangan yang terlintas di benak saya berkaitan dengan 1 Suro/Muharam adalah kejadian di sekitar rumah. Soalnya setiap malam 1 Suro Radio Damashinta selalu ngadakan hajatan wayang kulit semalam suntuk. Biar acaranya di aula tapi karena jaraknya cukup dekat jadi hawanya sampai ke rumah. Biasanya kalau ada acara wayangan saya selalu nyoba ngikuti biar cuma sekedar tau suasananya. Masalahnya kalau nonton wayang memang nggak pernah tutug, belum jam 12 biasanya sudah angop terus mulih. Cukuplah karena sampai di rumah kadang lamat-lamat masih terdengar suara gamelannya. Itung-itung buat pengantar tidur. Ingatan lain tentang 1 Muharam adalah pada komitmen kebangkitan Islam yang digembar-gemborkan dahulu. Ketika itu pada tahun 1980-an saat pergantian abad hijriah, para tokoh Islam sedunia mencanangkan abad 15 H sebagai abad kebangkitan Islam. Saya waktu itu sebagai ummat muslim dan masih berstatus pelajar tentu sangat bangga dibuatnya. Tarbayang di depan kejayaan ummat muslim akan kembali terulang. Betapa indahnya kalau muslim bersatu dan dunia kembali damai. (Saya memang banyak dipengaruhi oleh pemikiran HAMKA dan menyukai budaya timteng ala Turki atau Mesir)
Faktanya, tahun demi tahun berjalan kebangkitan yang kita inginkan bersama tak kunjung terlaksana. Bahkan kini setelah 28 tahun berjalan citra ummat Islam semakin terpuruk sebagai biang terorisme dan embel-embel buruk lainnya. Patutkah kita menjadi skeptis?
Alih-alih menciptakan persatuan, para tokoh agama kadang malah membuat kebingungan sehingga mengancam perpecahan ummat. Soal sepele tapi penting bahkan tak kunjung selesai diperdebatkan. Sudah beberapa tahun ini ummat kita selalu dihadapkan pada isu basi tapi selalu mengena yaitu perbedaan penanggalan. Bahkan ulama sekelas Yusuf Qardawi akhirnya sampai tidak tahan untuk mengkritiknya. Kita mestinya malu.
Beruntung pada penentuan awal tahun baru kali ini tidak ada perbedaan diantara kelompok yang selama ini tercerai berai. Mudah-mudahan ini menjadi pertanda baik dalam menapaki hari depan. Dan rasanya belum terlambat untuk mewujudkan abad ini sebagai abad kebangkitan Islam.

Iedul Adha dan Tahun Baru

Detik-detik hitung mundur pergantian tahun terus berjalan. Momen tahun baru berarti semakin menjelang. Kelak, saat jarum jam mendekati angka 12, serempak sejenak orang akan terpaku. Tiga, dua, satu dan horeee….. tahun baru telah datang. Orang akan larut dalam suka cita. Terompet akan bersautan seolah ikut menebar optimisme dan harapan baru. Orang tak lagi peduli dengan hakikat waktu, mereka bersatu padu menjadi saksi berlalunya masa lalu. Kenapa mereka kompak? Jawabnya mungkin karena jam sebagai rekayasa penanda waktu telah menjelma sebagai simbol pemersatu.
Manusia memang kadang lebih suka simbol daripada realita. Karena simbol kadang bisa dikemas sesuka, sedang realita akan tampil apa adanya. Ingat, ketika dunia heboh dengan isu millenium bugs (Y2K), masyarakat yang terpesona simbol ikut-ikutan merasa heboh menyongsong pergantian milenium. Aneh, masalah di dunia IT ikut terbawa dalam dunia nyata. Memang sih, secara simbol, pergantian abad akan lebih “megang” bila ditandai perubahan simbol angka: dari 1999 ke 2000. Walhasil, meski realitanya tidak demikian, mesin industri hiburan dengan pandai mengemasnya.
Merayakan pergantian tahun baru belakangan ini memang makin mentradisi. Padahal seingat saya, greget nuansa pergantian tahun di dekade 80-an khususnya di Pekalongan tidak begitu terasa. Dalam kesahajaan hidup dan minimnya fasilitas, masyarakat Pekalongan lebih suka menyambut dengan ala kadarnya. Paling banter ya acara puter-puter kota atau nonton midnite show (soalnya belum ada mal dan tempat hiburan lhoer). Beda dengan kondisi sekarang, apalagi buat alumni yang tinggal di kota besar. Al Makada: Apa aja Lu MAu KAyaknya aDA. Jadi perayaan tahun baru percuma saja dilawan, mending sekalian dijadikan kawan. Dalam kurun yang berdekatan, umat Islam juga sedang bersiap menyambut hari besarnya yaitu Iedul Adha. Namun berbeda dengan ketika menyikapi pergantian tahun baru, umat Islam di Indonesia akan terbelah dalam menentukan waktunya. Mayoritas akan memperingati pada 31 Desember 2006 dengan pijakan mantap, hilal dan hisab. Sedang sebagian lainnya yang dimotori sebuah lembaga dakwah akan memperingati pada 30 Desember 2006 dengan dasar makmum pada Arab Saudi. Kenapa begitu? Jawabnya mungkin karena umat Islam belum punya simbol pemersatu. Hilal, hisab atau waktu Arab Saudi sebagai simbol pemersatu? Ah nggak usah ikut-ikutan bingung. Bukankah selama ini pangkal ketidakakuran karena hilal dan hisab gagal menjadi pemersatu mengungkap realita, kenapa lagi harus ditambah masalah makmum waktu. Kalau begitu kenapa yang makmum waktu tidak menghitung tahun baru pada pukul 04.00.01 saja sesuai dengan waktu di sana? Tapi sudahlah, itu sekedar pendapat dari orang yang masih bingung membedakan mana simbol dan mana realita.
Dimensi waktu memang susah dimengerti karena di dalamnya penuh misteri. Konon waktu adalah jejak perjalanan, jadi mengingat waktu berarti mengingat sejauh mana kita berjalan. Ketika anda menengadah ke langit di malam yang cerah dan melihat sinar bintang yang terang bercahaya, hakikatnya anda sedang menangkap jejak bayangan masa lalu. Ya, karena gemerlap bintang pada detik ini adalah pancaran cahaya yang berpendar jutaan atau milyaran tahun yang lalu. Moedji Raharto mengatakan makin jauh jarak galaksi, berarti pengamatan kita juga merupakan pengamatan masa silam galaksi tersebut. Masih adakah mereka di sana? Ah tentu kita tidak berharap mereka telah tiada karena kalau demikian berarti kita selama ini hanya menangkap simbol atau sejarah keberadaannya saja. Realita yang mengerikan tentu.
Memahami dimensi waktu ternyata bisa membimbing kita menemukan dimensi penciptanya. Hugh Rose sebagaimana dikutip Adnan Oktar mengatakan: “Secara definisi, waktu adalah dimensi di mana fenomena sebab-dan-akibat terjadi. Tidak ada waktu, tidak ada sebab dan akibat. Jika permulaan waktu sama dengan permulaan alam semesta, seperti yang dikatakan teorema ruang-waktu, maka sebab alam semesta haruslah entitas yang bekerja dalam dimensi waktu yang sepenuhnya mandiri dan hadir lebih dahulu daripada dimensi waktu kosmos…. Ini berarti bahwa pencipta itu transenden, bekerja di luar batasan-batasan dimensi alam semesta. Ini berarti Tuhan bukan alam semesta itu sendiri, dan Tuhan juga tidak berada di dalam alam semesta”. Dimanakah Tuhan?
Menyikapi tahun baru sebagai kawan tak lantas kita larut dalam berpesta. Ada begitu banyak cara dan jalan menyikapinya. Jalan manakah yang rekan-rekan alumni suka?

Demi masa,
Sesungguhnya manusia dalam kerugian,
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.

Karenanya, momen pergantian tahun lebih pantas kita jadikan saat untuk berkontemplasi dan mensyukuri karunia-Nya. Bukankah berarti masih ada kesempatan sebelum simbol-simbol kemegahan semesta lenyap digulung dalam genggaman-Nya. Jadikan ibadah kurban sebagai simbol kepatuhan kita dan luangkan sedikit waktu di tahun baru untuk mengingat dzat penciptanya. Semoga anda akan menemukan Tuhan.
Selamat Iedul Adha 1427 H dan Selamat Tahun Baru 2007.