Bagiku, bulan Agustus adalah bulan persatuan. Di bulan ini biasanya adalah masa ketika warga Indonesia di perkampungan dan komplek perumahan merasakan momen-momen kebersamaan. Orang yang berbeda suku, agama dan tingkatan strata sosial biasanya bersatu padu merayakan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Kebersamaan ini biasanya saya rasakan dalam bentuk kerja bakti, pelaksanaan pertandingan dan perlombaan sampai perayaan acara puncaknya berupa panggung gembira dan tumpengan.
Kebersamaan yang indah ini kadang tercemari oleh hal-hal kecil karena kesalahpahaman. Perselisihan antar warga bisa saja terjadi dalam perlombaan atau juga kasus-kasus ketidakakuran dalam pelaksanaan panggung gembira. Tapi biasanya perselisihan itu cepat reda begitu menyadari bahwa tujuan peringatan itu adalah untuk persahabatan atau mempererat tali persaudaraan. Dari sini, biasanya saya merasakan nikmatnya suasana rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi.
Namun di bulan Agustus tahun 2007 ini perasaan persatuan yang saya rasakan agak terusik dengan gencarnya pemberitaan tentang ditemukannya Lagu Indonesia versi 3 Stanza oleh Roy Suryo. Kenapa Lagu Indonesia Raya yang sudah 62 tahun mengiringi perjalanan bangsa Indonesia dan menjadi lagu pemersatu dipermasalahkan. Terus terang, setiap mendengar beritanya di berbagai media saya sampai kehabisan pikiran, tidak mengerti maksudnya. Apa perlunya diungkit-ungkit lagi? Sudah tentu namanya gubahan manusia maka sebelum jadi lagu yang sekarang tentu melalui berbagai proses. Jadi andaikan apa yang disampaikan oleh Roy Suryo benar, bagiku hal ini seakan hanya memutar jarum jam saja. Bayangkan, dengan satu stanza saja Lagu Indonesia Raya menurut Alwi Shahab sudah menjadi lagu kebangsaan yang terpanjang di dunia (3 menit 49 detik) bagaimana dengan tiga stanza. Anda bisa tebak sendiri harus dibagaimanakan temuan Roy Suryo. Terus buat apa kalau akhirnya hanya menguras energi bangsa ini yang sedang sakit menghadapi berbagai musibah.
Bagiku perbincangan tentang Lagu Indonesia Raya ini paling tidak mengingatkan kembali kepada sosok pengarangnya, WR Supratman. Ya, nama itu, Jalan WR Supratman, begitu akrab di telinga karena menjadi alamat dimana sekolahku SMP 1 Pekalongan berada. Di sekolah inilah saya mengalami perkenalan dengan materi-materi kebangsaan dan wawasan nusantara secara lebih jernih. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia, lagu-lagu kebangsaan dan pendidikan kewarganegaraan mulai saya kenal. Tujuan jelas, seperti do’a orang tua, agar anak didiknya menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Dirgahayu Indonesiaku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment