Seorang blogger menulis karena melalaikan sholat maghrib, Indonesia ditekuk Korea Selatan, 0-1. Dia menyoroti bahwa pemain dan penonton yang mayoritas muslim tidaklah pantas larut dalam ketegangan dan atmosfir pertandingan manakala pada waktu yang sama sebenarnya datang kewajiban menunaikan sholat maghrib. Yel-yel dan riuh-rendah sorakan penonton kenyataannya memang mengalahkan panggilan Allah yang mungkin hanya terdengar sayup-sayup di Senayan. Jadi, dalih nasionalisme melalaikan dan mengalahkan kewajiban kepada Yang Maha Kuasa.
Malam minggu sebelumnya (Sabtu, 17 Juli 2007) saya kebetulan merasakan nikmatnya atsmosfir menonton pertandingan itu. Saya sekeluarga (istri dan dua anak) menyaksikan bagaimana Indonesia harus berjibaku dengan Arab Saudi langsung dari tribun SGBK. Memasuki stadion pukul 19.00, saya masuk stadion dan mendapati kursi dan bangku sudah penuh sesak, konon dari sore hari. Kapan Sholat maghribnya? Tapi pikiran su’udzon itu cepat hilang karena segera larut dalam yel-yel suporter Indonesia. Apalagi ketika Indonesia Raya dikumandangkan dalam koor yang mengharukan dan membuat merinding bulu kuduk . Beginilah nikmatnya nasionalisme dan persatuan bangsa.
Pukul 19.35 kick off dilakukan dan Arab Saudi yang demikian difavoritkan ternyata mampu unggul pada belasan menit kemudian. Penonton terdiam dan pencetak gol melakukan selebrasi dalam sepi. Pun hanya sedikit pemainnya mengejar untuk peluk dan cium. Beberapa pemain malah memilih merayakannya dengan sujud syukur!!!
Pukul 19.35 kick off dilakukan dan Arab Saudi yang demikian difavoritkan ternyata mampu unggul pada belasan menit kemudian. Penonton terdiam dan pencetak gol melakukan selebrasi dalam sepi. Pun hanya sedikit pemainnya mengejar untuk peluk dan cium. Beberapa pemain malah memilih merayakannya dengan sujud syukur!!!
Tertinggal 0-1 Indonesia segera meningkatkan tempo permainan dan balik menekan Arab Saudi. Dengan kerjasama yang apik akhirnya Elie Eboy berhasil merobek gawang Arab Saudi dan menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Maka meledaklah stadion dengan gemuruh pekik dan sorakan penonton. Suasananya sungguh menggetarkan. Para pemain mengejar pencetak gol dan menari-nari merayakan kehebatan pencetak gol. Sialnya saat injury time Indonesia harus kebobolan lagi satu gol melalui sundulan lawan yang mematikan. Sangat menyesakkan. Beberapa pemain malah begitu down dan terbaring tak kuasa untuk segera bangkit lagi. Pertandingan kemudian dilanjutkan lagi dan tidak lama berselang peluit panjang ditiup dan Indonesia kalah 1-2. Sayang, kehebatan yang tadi ditunjukkan para pemain Indonesia mendadak sirna dan berubah menjadi sosok-sosok yang lemah tak berdaya. Untungnya, pendukung tetap memberi apresiasi positif dan berdalih bahwa kekalahannya karena faktor wasit.
Euforia Piala Asia minggu-minggu ini jadi mengingatkan masa-masa kecil dulu yang suka nonton langsung pertandingan sepakbola di Pekalongan. Tempat favorit yang jadi tujuan waktu itu adalah Lapangan Poncol karena hampir tiap akhir pekan (Jum’at, Sabtu dan Minggu) menggelar pertandingan segitiga. Tiga tim saling bertanding sehingga dalam 3 hari mereka sudah dapat saling bertemu (setengah kompetisi) dan ditentukan juaranya. Al-Hilal, PS HW, POAP dan Krapyak adalah diantara deretan klub yang menjadi favorit. Karena ada target juara ini masing-masing tim akan ngotot menang. Sepanjang positif sebenarnya malah meningkatkan kompetisi. Masalahnya kengototannya kadang ditempuh dengan cara-cara yang kurang elok, dari yang sekedar ngebon pemain sampai pada praktik perdukunan. Ngebon pemain biasanya karena dengan motif untuk memperkuat tim dengan memasukkan pemain yang tidak terdaftar dalam klubnya. Trik ilegal yang masih dianggap wajar.
Yang runyam adalah kalau sampai menerapkan praktik perdukunan. Jangan salah, praktik perdukunan ini memang ada dan pernah saya saksikan sendiri. Suatu ketika, dalam suatu pertandingan ada tim yang diperkuat kiper yang sudah berumur. Penampilannya sih tidak meyakinkan tapi begitu bertanding ternyata berubah menjadi sosok kiper tangguh yang gawangnya tidak mampu dijebol lawan. Gerakan dan teknik tangkapannya sebenarnya biasa aja tapi hebatnya bola selalu pas di posisinya atau malah melebar jauh dari gawangnya. Seakan ada sekat yang menutup gawang yang membuat frustasi pemain lawan. Sampai babak pertama berakhir gawangnya belum juga jebol. Penonton menjadi penasaran dan curiga. Kok aneh?. Nggak jelas sumbernya dan siapa yang mulai, penonton tiba-tiba mulai meneriakkan yel-yel dukun. Penonton berdalih.
Saat babak kedua dimulai gawang pak tua tadi kembali diserang dan dia meloncat dengan gerakan canggung menangkap bola. Ups, bola tertangkap dan tiba-tiba ada mawar merah yang jatuh dari ketiaknya. Sorakan penonton bergemuruh menyaksikan pemandangan itu. Pas dengan dugaannya. Seorang penonton maju dan segera mengambil mawarnya dan konon dipipisin di pojok luar lapangan. Aneh, tiba-tiba saja situasi jadi berubah. Kiper yang sebelumnya tangguh dan gagah tiba-tiba menjadi sosok yang culun dan tidak percaya diri. Tangkapan pulutnya tiba-tiba hilang dan bola-bola mudah jadi gampang masuk gawangnya. Bola atas mati, bola bawah apalagi karena malah ada bola yang masuk dari selangkangannya. Goal, goal dan goal. Penonton tertawa terpingkal-pingkal dan skor akhir tidak menjadi penting lagi. Penonton terhibur bukan karena mutu pertandingannya tapi karena dagelan perdukunannya. Begitulah wajah sepakbola di daerah.
Penggalan kisah ini menunjukkan, less divine, dalam sepakbola tim-tim yang lalai menjaga kualitas permainan dalam dua babak akan menuai hasil buruk. Ini berarti tidak cukup hanya mengandalkan do’a, bantuan suporter apalagi dukun seperti kasus di Pekalongan. Dibutuhkan kombinasi kapasitas (skill), strategi dan semangat juang. Kekalahan tim Indonesia atas Korsel dan Arab Saudi karena di atas kertas mereka mempunyai skill yang jauh lebih baik dari tim Indonesia. Kondisi ini masih ditambah dengan strategi jitu mereka memanfaatkan kelemahan kiper Indonesia. Yendry Pitoi untuk bola atas dan Markus Holison untuk bola bawah. Dan juga kiper di Pekalongan tanpa bunga mawar merah. Belum lagi kalau bicara semangat juang mereka yang terjaga sampai detik-detik penghabisan. Wajar kalau mereka memenangi pertandingan. Jadi tak perlu menyalahkan siapapun dan berdalih apapun. Tinggal tingkatkan skill dan pertahankan semangat juang maka sepakbola Indonesia akan lebih maju. Bagaimanapun saya tetap bangga dengan tim Indonesia. Penampilannya sudah cukup menghibur.
No comments:
Post a Comment