Sekitar setengah tahun yang lalu, ketika bertandang ke ruang Ibu Sri Wiharti atasan saya, tiba-tiba saya ditunjuki foto dan ditanya: “Rif, kamu kenal ini?”. Ditaruhnya foto itu di atas meja kerja sambil menunjuk kepada sosok yang berdiri di barisan terdepan. Yang ditunjuk adalah gambar seorang ibu dengan wajah tirus, sanggul kecil memakai sepatu dengan hak tinggi. Sejurus kemudian segera saya mengenalinya: “kenal, ini kan Bu Pawarti, guru bahasa Indonesia”. Merasa pembicaraannya nyambung, Bu Sri melanjutkan cerita bahwa itu adalah foto reuni alumni SMA 1 Pekalongan angkatan 70-an. Saya perhatikan para alumni meski sudah pada sepuh tapi tetap memancarkan wajah ceria. Berdiri di tengah katanya adalah Dr. Suhardjo mantan Dekan FMIPA UI yang bertindak selaku tuan rumah.
Berawal dari foto itu, pikiran saya tiba-tiba menerawang jauh ke belakang menembus sekat jarak dan waktu. Ya, sosok Bu Pawarti seakan hadir dan waktu yang berbilang puluh tahun berlalu serasa baru kemarin sore. Begitu membekas, karena saya mempunyai pengalaman tak terlupakan.
Pagi itu, mengawali pelajaran, Bu Pawarti meminta para murid mengumpulkan jawaban PR ke mejanya. “Masya Allah”, batinku. Saya baru tahu kalau sebenarnya hari ini ada tugas yang harus dikumpulkan. Dalam kondisi panik, saya kumpulkan saja bukuku meski tanpa jawabannya. Memang dasarnya orang teliti ya, semua buku dihitung dan ternyata kurang satu. Segera saja Bu Pawarti berteriak lantang: “Siapa yang belum mengumpulkan!”. Setelah terdiam agak lama, akhirnya ada teman wanita - sebut saja Rini - yang mengaku belum mengumpulkan. Karena ketika ditanya nggak bisa menjawab alasannya, mungkin juga karena grogi, Rini akhirnya distrap maju ke depan.
Demi melihat kemarahannya, saya jadi was-was bagaimana seandainya beliau tahu bahwa buku saya bodong. Tentu akibatnya akan lebih fatal buat saya. Ibarat pelanggaran lalu lintas, saya bisa dikenai sanksi dua pasal. Dalam benak berkecamuk pilihan untuk ngaku atau diam pasrah saja. Tokek punya tokek, akhirnya saya putuskan maju ke depan dan ngaku belum mengerjakan tugas.
Terlambat. Rupanya Bu Pawarti justeru semakin naik pitam karena merasa nyaris dibohongi. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saya dan Rini didamprat di depan kelas. Suasana kelas jadi tegang dan kami berdua jadi tontonan gratis. “Mbelgedes kamu, sana keluar …. nggak usah ikut pelajaran lagi dan sampai ketemu di bangku EBTA”, katanya dengan penuh kemarahan. Seketika kami berdua kaget dan panik. Bagaimana tidak, wong Bu Pawarti itu terkenal killer. Konon sudah banyak korban dari kelas-kelas sebelumnya. Tanpa banyak bicara, pokoknya cepet-cepet keluar dari kekalutan, kami berdua terpaksa meninggalkan kelas. Segera terbayang bakal jadi veteran di kelas III. Waduh….. nasib, nasib. Di luar kelas, sambil duduk di undakan menghadap lapangan basket, saya hanya bisa duduk termangu menyesali kejadian ini. Sementara di sisi saya, Rini tak kuasa menitikkan air mata. Duh….semakin bersalah rasanya. Bagaimana tidak, mungkin kalau saya dari awal ngaku seperti dia mungkin nggak sampai begini kejadiannya. Saya jadi serba salah.
Untunglah beberapa teman IPA 4 yang melihat kejadiannya (Boni/Rudi/Yani?) memberi simpati terutama menenangkan Rini. Lama kami berdiskusi dengan teman-teman untuk membahas segala kemungkinannya. Atas saran teman-teman, kami berdua sebaiknya segera mengakui kesalahan dan meminta ma’af. Pokoke nggak perlu berdalih macam-macam lagi.
Sesuai saran, jam istirahat kami berdua menghadap Bu Pawarti di ruang guru. Di bawah tatapan guru lainnya, kami berdua meminta ma’af atas kejadian tadi dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Beruntung, emosi Bu Pawarti cepat reda dan tanggapannya sangat melegakan. Beliau mema’afkan dan memberi nasihat-nasihat kepada kami berdua. Plong rasanya.
Beberapa minggu kemudian, Bu Pawarti memberi tugas untuk membuat paper perorangan. Sewaktu dikumpulkan dan kemudian dibahas di kelas, ee….paper saya - dengan topik kalau tidak salah Pertanian Tanaman Pangan - kena sampling. (Waah, ngetes nih). Hasilnya sih katanya bagus. Tapi ya terang ajalah wong saya menyusunnya ekstra serius. Sebagai manusia, biar ndeso, kan nggak mau terperosok dalam lubang yang sama.
Demikianlah, memang begitulah gaya mendidik beliau. Disiplin keras agar muridnya menjadi orang yang berguna, tidak mbelgedes.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment