Friday, August 10, 2007

Mblezdrek

Ingatlah suaranya, maka kau akan kenal orangnya. Pelajaran ini saya peroleh dari perjumpaan dengan teman lama di Stasiun Gambir. Waktu itu saya ada keperluan menjemput orang tua yang naik kereta Fajar Utama. Saat perhatian saya tertuju pada orang tua karena mengeluh tentang keterlambatan kereta, tiba-tiba seseorang menepuk pundak sambil memanggil nama saya. Masih dalam kondisi terkaget saya menengok ke belakang. Eh, ternyata Tri Harantyo, teman kuliah yang juga alumni SMA Negeri 1 (bedanya dia di Jakarta). Sambil tertawa dia bercerita: “Tadi saya lagi jalan ke sana (sambil menunjuk ke arah selatan), tapi denger suaramu pas lagi ngobrol dengan bapakmu. Saya penasaran, kayaknya kok kenal?”. Hebat, feelingnya pas. Segera saja saya mengulurkan tangan memberi salam karena salut dengan keputusannya.
Setelah ngobrol sebentar dan memberi salam ke bapak yang kebetulan sudah dia kenal, Tri pamitan karena juga ada keperluan menjemput mertua. Meski telah berpisah, saya tak habis-habisnya merasa takjub. Subhanallah, manusia ternyata memang dianugerahi ciri-ciri fisik yang sangat spesifik. Hanya dari frekuensi suara, seseorang yang sudah lama tidak ketemu masih bisa mengenali. Luar biasa kan.
Di lain tempat dan suasana, kekhasan suara seseorang juga pernah menjadi perhatian saya. Di komplek tempat tinggal, saya mempunyai tetangga beda RT (tapi masih satu RW) yang mempunyai suara dan logat bicara yang khas. Namanya Markalis, muka dan kulitnya bersih, cocok dengan namanya. Tetanggaku ini kalau bicara selalu bikin segar suasana dan kalau nyeletuk bikin geeerr orang-orang yang mendengarnya. Hobby nyeletuknya makin lepas terutama kalau lagi senggak-senggakan antar suporter dalam pertandingan Agustusan. Dibanding dengan celetukan yang lain: yang logat batak, betawi, sunda atau jawa timuran, celetukan ala markalis rasanya yang paling kena di saya. Rasanya memberi nuansa lain yang selama ini telah hilang.
Pernah suatu ketika saya dan dia ketemu sebagai lawan tanding partai ganda bulutangkis. Biar masing-masing teman pasangan main serius, kita berdua bukanya ngotot-ngototan adu smash, eee.. malah guyonan layaknya teman lama. Heran, teman bukan saudara apalagi kok terasa klop aja. Makanya kadang-kadang saya mikir: “apa sudah pernah kenal sebelumnya?” DEJA VU, rasanya pernah liat. Tapi pikiran itu biasanya cepat saya buang karena kalau dari namanya saja sudah terasa asing, nggak umum orang pesisiran. Orang Pekalongan kan biasanya pakai nama-nama berbau muslim: Rozak, Syukur, Muslihin, Kasbulah. Paling banter yang mirip adalah Markaho bekas lurah Klego. Meski mirip tapi kan bukan berarti mesti ada hubungannya, jadi tetap saja asing bagi saya. Apalagi saya nggak ada yang kenal dengan anak turunannya Markaho. Kalau begitu pelajaran: Ingatlah suaranya, maka kau akan kenal orangnya tidak berlaku dong.
Tunggu dulu. Namanya kesan pertama rupanya nggak bisa dicolong. Istilahnya: BLINK.Hari itu, minggu-minggu awal setelah lebaran saya kebetulan ketemu Markalis di SD Al Fajar karena sama-sama mau njemput anak. Karena suasana lebaran, maka kami salam-salaman saling mema’afkan. Umumnya orang rantau, maka kami saling bertanya soal mudik yang baru berlalu. Obrolan demi obrolan berlanjut sampai akhirnya kami baru menyadari bahwa kami berdua ternyata satu kampung. Saya dari Noyontaan, Markalis dari Krayak. Ooooalah, pantesan orangnya grapyak.
Ketika obrolan makin menjurus keterkejutan saya makin berlanjut.
“Arif dulu SMA-nya mana?” katanya menanyakan asal-usul sekolah.
“SMA 1” Jawab saya yang langsung di potong,“wah podo, aku angkatan 86” katanya yang terus disusul tawa khasnya.
Sampai di sini sebenarnya rasa penasaranku sudah terjawab, berarti ingatan suara dan tawa khasnya hanya kebetulan kena di feeling karena kami berdua satu almamater.“O, kalau aku angkatan 85” jawabku bangga karena berarti aku kakak kelasnya. Tapi di luar dugaanku, markalis malah makin sumringah mendengar jawabanku.
“Berarti seangkatan karo mblezdrek ya”.
“Mblezdek?” pikirku agak ragu. Soalnya apa benar yang dimaksud mblezdrek yang saya kenal? padahal dia kan adik kelas. “Apa mblezdrek sedemikian populernya?” batinku. Di tengah keraguanku, markalis cepat menyakinkan:
“Iya mblezdrek ……. (Abdul) Zahar itu kangmasku”.
Kaget saya. Haa, jadi suara dan logat bicara yang selama ini memancing memoriku sebenarnya (copy) paste dari file masternya?Mengakhiri pembicaraan, Markalis janji akan ngajak mblezdrek ke rumah saya untuk silaturahmi. Benar aja, esoknya, Minggu sore mblezdrek datang ke rumah. Dengan suara dan tawa khasnya segera membuka lagi kenangan yang terpendam. Kami berdua memang pernah sekelas di kelas 1. Di kelas itulah saya mengenal mblezdrek secara cukup dekat selama satu semester. Meski kemudian kami berpisah karena penjurusan, kami berdua masih sering bertemu di warung yang ada di gang samping selatan sekolah. Di situlah memang biasanya ngumpul anak-anak IPS. Tahu sendirilah kelakuannya.
Nah kembali ke pelajaran kita, kesimpulan: Ingatlah suaranya, maka kau akan kenal orangnya memang benar adanya. Sebab kalaupun meleset, paling banter ya ke adiknya. Dalam kasus ini kan malahan lebih baik, soalnya adiknya ternyata lebih kalis nimbang kangmasnya yang meski sudah manajer masih saja mblezdrek.

No comments: