Friday, August 10, 2007

Mbah Anjut

Lazimnya anak usia remaja (bahasa gaulnya ABG), di SMA 1 Pekalongan ada beberapa teman yang mempunyai nama gaul tertentu. Misalnya ada anak yang dipanggil Bandot, Mayit dan mblezdrek. Mereka fine aja meski sebenarnya berkonotasi miring. Nah di kelas III IPA 3 angkatan 85 juga ada teman yang mempunyai nama gaul. Namanya Anjut. Namanya populer jadi cukup menyebut nama gaulnya, teman-teman sekelas pasti tahu siapa yang dimaksud.
Tentang kenapa tiba-tiba muncul nama gaul Anjut sebenarnya cukup membingungkan saya. Soalnya jauh panggang dari api. Anjut itu kan berarti antem atau jotos. Padahal perilakunya jauh dari kesan beringasan yang suka melempar jotosan. Lo orangnya kalem dan nggak marahan kok. Tapi kalau diinget-inget sih ini mungkin karena ulahnya trio cah pinter: Hery, Muslihin dan Husni. Mereka bertiga memang agak usil ngerjain Anjut. Bak sansak, Anjut sering jadi bahan anjutan. Tapi dasar Anjut, diusilin macem-macem ya anjut eh… lanjut aja.
Mungkin karena nggak puas dengan proyek pertama, mereka kemudian membuat proyek kedua. Buktinya, dari mereka bertiga tiba-tiba Anjut dapat tambahan nama baru Pak De di depannya. Wah ada apa ini? Apa ada kaitannya dengan Pak De pembunuh Ditje? Usut punya usut rupanya karena Anjut sudah punya ponakan makanya berpredikat Pak De. Jadi lengkapnya Pak De Anjut.
Waktu itu saya berpikir apa masalahnya? Anak seumur SMA punya ponakan kan mestinya biasa. Tapi…. sesaat kemudian baru tersadar. Biasanya kan paling jadi Om/tante atau Paklik/bulik. Lo Anjut ini kan Pak De, jadi berarti punya ponakan dari adiknya. Wah pantesan kali ini Anjut jadi agak kena. Merasa penasaran dengan berita itu, Saya dan Apin silarurahmi ke rumah Anjut dengan tujuan sampingan: ngecek kebenarannya. Kami berangkat sore hari dengan berkendara Super Cub. Karena jaraknya cukup jauh yaitu di Kedungwuni dan pake putar-putar nanya segala, kami baru sampai ke rumahnya kira-kira lepas maghrib. Untung Anjut ada di rumah.
Awalnya Anjut agak kaget dengan kedatangan kami. “Ada apa nih?” Mungkin demikian pikirnya. Setelah ngobrol sana-sini sambil mancing-mancing ke pembicaraan keluarga akhirnya Anjut tahu arahnya. Biasa, meski merasa disidak reaksinya mesam-mesem aja. Tak lama kemudian kami diperkenalkan dengan adik, ipar dan ponakannya yang kebetulan masih tinggal serumah. Di luar dugaan kami, rupanya mereka tidak memendam perasaan sungkan sama sekali. Menyambut dengan, istilahnya nyedulur. Malah kemudian kami diajak berlama-lama dengan dihidangi makan malam segala. Wah jadi malu nih.
Sejalan dengan sikap di rumahnya, hari-hari berikutnya di sekolah (entah karena faktor apa) keadaan mulai mencair. Anjut yang tadinya agak kena kemudian mulai kembali ke karakter semula. Siap dianjuti. Predikat Pak De rupanya sudah diterima dengan legowo. Akhirnya kami teman sekelas kembali tanpa sungkan-sungkan memanggilnya dengan nama gaulnya: Pak De Anjut.
Kini setelah 21 tahun berpisah, nama Pak De Anjut masih melekat dalam ingatan. Saking lekatnya, sampai sekarang saya masih gagal mengingat-ingat nama sebenarnya. Dalam kebuntuan malah kemudian terpikir tentang proyek yang ketiga. Logikanya, kalau mereka semua diparingi slamet dan kewarasan, keponakannya mungkin sudah punya anak kan. Jadi sekarang tentunya sudah pantas dapat julukan baru: Mbah Anjut. Ueeedan man, Rosa…..rosa.

No comments: