Teman-teman SMA yang eks SMP 1 Pekalongan, dulu mempunyai kebiasaan unik karena biasa menyapa teman dengan nama panggilan orang tuanya. Misalnya seseorang yang bernama Dhani akan dipanggil Ahmad sesuai dengan nama bapaknya. Panggilan yang saru sebenarnya karena berarti tidak menaruh hormat kepada orang tua dan akan mempermalukan teman yang kebetulan mempunyai nama orang tua yang ndeso.
Kebiasaan katro itu masih terbawa terutama di kalangan anak-anak IPS atau ketika ketemu teman SMP di luaran. Meski lambat laun kebiasaan itu akhirnya mereda, trade mark panggilan nama orang tua tersebut masih melekat pada beberapa teman tertentu. Di antara yang cukup populer pada waktu itu adalah nama panggilan, sebut saja Walim. Nama ini melekat di benak teman-teman karena panggilannya lucu, pas dengan gayanya dan mudah diingat.
Singkat cerita, ketika kuliah, saya tinggal satu kontrakan dengan teman-teman seangkatan asal Pekalongan. Suatu ketika Zaenal (eks anak IPA 4) kedatangan tetangganya. Setelah mereka ngobrol saling menanyakan kabar, Zaenal memperkenalkan tamu tersebut kepada saya. Dengan bersahabat sang tamu menyambut perkenalan saya. Layaknya teman sekampung, kami bertiga segera cair dalam obrolan hangat. Bermula dari saling bertanya tentang aktivitas di Jakarta hingga akhirnya sampai kepada asal-usul di Pekalongan sana.
Ketika giliran saya tanyakan tentang asal persis kampungnya, sang tamu menjawab: “Wiradesa dik, masuk dari Gedung Kopindo ke utara”. Mendengar jawabannya, mendadak sontak saya teringat kampung tempat teman SMP dulu tinggal.“Sebelah mana rumahnya Walim?”, secara spontan saya menimpali. Meski saya yakin betul rumahnya pasti berdekatan, tapi rupanya sang tamu jadi salah tingkah. Melihat ekspresinya, saya segera melirik Zaenal yang ternyata juga tak kalah bingungnya sambil menahan tawa.
Setelah terdiam sejenak, akhirnya meledaklah tawa Zaenal.“Rumahnya ya di situ wong Pak Walim itu bapaknya” kata Zaenal masih tak bisa menahan tawanya. “Haa, mati aku”, batinku. Jadi siapa tamu ini?Untung sang tamu dengan berbesar hati menjelaskan: “Iya, saya ini kakaknya “Fulan” temanmu”. "Walim itu bapakku", imbuhnya tandas. Walah…walah… karena panggilan saru saya jadi kena batunya. Sial temen, wis..wis pokoke ora pisan-pisan maneh.
(Disadur dari artikel dengan judul: “Gara-gara Nama Ortu Katro” kiriman Arif Ardiyanto yang dimuat pada Rubrik Polah, Republika Edisi Ahad 17 Juni 2007)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment