Pil. Belakangan istilah pil menjadi demikian populer dan mendominasi pemberitaan di media masa. Tapi ingat, pil disini bukanlah pria idaman lain apalagi pil beneran. Pil dari penggalan akronim pilpres dan pilkada ini rupanya menjadi berita yang demikian berharga melebihi sekedar berita gosip perselingkuhan dan berita sulitnya rakyat mendapatkan pengobatan murah karena menyangkut hajatan terbesar bangsa. Pil(pres) tahun 2004 demikian membetot perhatian karena inilah pemilihan presiden langsung di Indonesia. Setelah hampir 60 tahun merdeka, baru saat itulah rakyat bebas memilih sendiri pimpinannya. Peristiwa yang patut dikenang dan menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa.
Pil(kada) kemudian menjadi populer karena meski dalam skala yang lebih kecil tapi beritanya susul-menyusul dari berbagai daerah. Bulan-bulan terakhir ini, Pilkada DKI giliran yang menjadi berita hangat dan menjadi perhatian publik. Alasan yang pertama karena ini juga bakal menjadi sejarah bagi DKI karena akan menjadi momen kali pertama gubernur DKI dipilih langsung warganya. Sedang alasan yang kedua, ini yang lebih heboh, pilkada DKI ternyata diwarnai dengan isu perselingkuhan calon oleh partai dan ternyata tidak seperti pil di Puskemas, mahal. Bayangkan aja gelontoran duit 3 M dari calon masih dianggap kurang dan nggak ada apa-apanya sehingga partai tergoda berselingkuh dengan calon lain yang lebih seksi. Walah, gimana jadinya ya pimpinan yang terpilih nantinya.
Aneh kan, pil atawa pemilihan yang menjadi puncak demokrasi ini masih serba bolong sistemnya. Padahal Francis Fukuyama mengatakan bahwa demokrasi adalah ujung dari sejarah perkembangan ideologi politik umat manusia. Belum lagi jargon populer yang menyatakan suara rakyat adalah suara tuhan. Apa bener kalau caranya begitu terus pemimpin yang terpilih telah melalui jalan Tuhan?
GM dalam Caping tentang pilkada memberi contoh klasik dalam politik, datang dari harapan tapi bisa tak memungkinkan tumbuhnya harapan. Willie sebagai tokoh novel yang dibedah telah buta kekuasaan. Kekuasaan dan keyakinan yang membuatnya jadi perkasa akhirnya membuat Willie kebal, juga terhadap rasa sakit orang lain. Akhirnya dalam novel All the King’s Men ini, digambarkan dengan muram bahwa tak ada kapasitas manusia buat memihak Kebaikan, apa pun maknanya.
Masih tentang pilkada, warga Pekalongan tentunya patut berbangga. Pasalnya, paling tidak menurut Majalah Warta Pengawasan, Pilkada di Pekalongan ternyata telah mencetak sejarah baru. Meski dalam majalah itu disebut bahwa kepala daerah pertama hasil pilkada adalah HM Syaukani (Bupati Kutai Kertanegara, Kaltim), tapi ternyata HM Basyir menjadi walikota pertama dari hasil pilkada yang dilantik di Indonesia. Jadi dalam hingar-bingar politik dan demokrasi di Indonesia, Pilkada di Pekalongan pantas menjadi bagian penting dalam sejarah perjalanannya. Dari kota inilah lahir secara de jure kepala daerah hasil pilkada yang sah mempimpin warganya.
Masalahnya apakah pilkada di Pekalongan telah melalui jalan Tuhan? Wallahu ‘alam. Namun soal yang ini mungkin kita hanya bisa melihat tanda-tandanya. Ada beberapa alasan yang mungkin membuat warga Pekalongan bernafas lega karena mempunyai the right man. Pertama, tak ada hingar bingar politik uang, demo-demoan dan cara tak elok lainnya, beliau relatif mudah melaju sebagai walikota (no news from good news). Kedua, tanpa musibah atau bencana alam, beliau mampu mengundang dan menghadirkan SBY ke Pekalongan yang semata melihat prestasi di Pekalongan. Ketiga, tanpa janji muluk dan populis, beliau siap membangun kota. Tentang yang terakhir ini kebetulan secara tak sengaja saya dengar secara sepintas rapat di museum batik. “Pendidikan dan pengobatan murah tidak berarti gratis”, katanya berapi-api ketika sedang memimpin rapat di hari Sabtu siang. Dalam batin saya berucap: “Setuju Pak”. Pemimpin yang punya visi tak harus mengekor daerah lain. Kalau dananya terserap untuk kebutuhan dasar saja, kapan bisa bangun infrastruktur dan sarana penunjang kesejahteraan lainnya?. Hanya saja, warga pasti menunggu realisasi janji-janji kampanye dan program-programnya. Jadi jangan sampai Pil(kada) di Pekalongan membuat warganya lebih senang berselingkuh ke idaman lain karena harus terus menelan pil pahit, tidak gratis lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment