Friday, August 10, 2007

Budayakan Makan Ikan

Kalau para alumni atau Orang Pekalongan (Opek) ditanya apa yang terkenal dan dibanggakan dari Pekalongan, saya haqul yakin rata-rata akan menjawab: batik. Jawaban ini sah-sah saja karena banyak aktivitas di sekitar kita yang berkaitan dengan perbatikan. Aktivitas dari produksi sampai dengan pemasarannya demikian mencolok ada di sekitar kita. Kondisi ini makin dipertegas dengan maraknya grosir batik belakangan ini. Bisnis batik yang sempat meredup akhirnya benderang kembali. Makanya pantas saja kalau predikat kota batik disematkan.
Predikat Pekalongan sebagai kota batik rupanya cukup membanggakan Opek dan khususnya para alumni. Demi Kebanggaan ini, alumni yang tidak berkaitan dengan bisnis batikpun kadang secara tidak sadar menjadi duta batik. Ada yang sekedar promo tak langsung dengan sering berbusana batik, menjadi agen informasi dan agen tak resmi atau menjadikan batik sebagai buah tangan kepada tetangga atau relasi di rantau. Semua dilakukan demi mencitrakan dan mengaktualisasikan diri sebagai warga kota batik.
Selain batik, sebenarnya ada hal lain yang patut dibanggakan dari Pekalongan yaitu produksi ikannya. Sayangnya, untuk hal yang satu ini agaknya sering dilupakan. Padahal ikan secara simbolis telah diekspresikan dalam lambang kota berupa gambar ikan disamping gambar canting. Jadi disamping sebagai kota batik, Pemkot Pekalongan seakan juga ingin mencitrakan diri sebagai kota ikan. Tapi boro-boro bangga, bicara ikan saja rupanya kurang menarik bagi Opek. Maklum, ikan kadung dipersepsikan sebagai barang murahan. Akibatnya perilaku masyarakat Pekalongan kurang menghargai ikan. Misalnya, menjamu atau nraktir tamu dengan hidangan ikan dianggap kurang menghargai karena ikan lebih pantas jadi pakan kucing. Beda kalau misalnya menjamu dengan hidangan ikan dengan konotasi lainnya yaitu ikan (iwak) ayam, iwak kebo dan iwak wedus. Pokoknya kalau sudah daging dianggap ngajeni meski tempatnya amigos dan mewah. Lho? Ya maksudnya agak minggir got sedikit dan mepet sawah.
Entah karena faktor gengsi yang salah kaprah atau faktor lidah, menu favorit Opek akhirnya tidak jauh dari daging-dagingan. Sederet menu favoritnya bisa ditelusur pasti berbahan utama daging seperti tauto, opor, daging semur, daging srundeng, sate dan gule serta garang asem. Kalaupun ada selipan menu ikan paling ya gereh alias ikan asin. Aneh kan, warga kota ikan tapi nggak suka mengkonsumsi ikan. Sapa sing salah? Berbeda dengan Opek yang tidak menghargai ikan, sebaliknya orang timur demikian bangganya dengan ikan. Dalam soal hidangan, orang timur demikian bangga dan menyukai menu-menu yang serba ikan. Di Manado misalnya, ikan yang di Pekalongan dijuluki pindang kemaren (kesan tidak segar) diolah dengan demikian menyegarkan dan diberi julukan yang demikian membangkitkan selera: ikan today. Nyatanya memang seger dan manis, makanya cukup dicocol sambel cabe irisan (rica-rica dan colo-colo) enak sudah. Di Ambon lain lagi, ikan kakap yang disop dengan tambahan potongan tomat dan jahe ternyata juga memberikan aroma dan rasa yang sama nikmatnya. Di Sorong juga demikian, ikan dengan bumbu tauconya menjadi menu favorit di salah satu resto terkenal di kota itu. Di Jayapura malah lebih fanatik lagi, jamaknya jatah ikan bakar buat satu orang dewasa minimal 1 kiloan per orang. Gueedi nemen. Padahal di Pekalongan sekalinya belanja ikan 1 kilo bisa buat satu keluarga ya.
Nah kenapa mereka bisa demikian bangga dengan ikan sedang kita Opek tidak? Kalau alasanya karena sumber daya alamnya, potensi Pekalongan sebenarnya tidak kalah besarnya. Sebagai bukti TPI Pekalongan mempunyai omzet terbesar kedua di Indonesia. Posisinya hanya kalah dengan TPI Muara Karang yang notabene berada di Jakarta yang menjadi pusat perekonomian. Dengan kata lain, produksi atau peredaran ikan di Pekalongan berarti di atas kota-kota utama di Indonesia Bagian Timur.
Memang di Pekalongan belakangan sudah ada resto dengan menu utama ikan di pantai dan café tenda di Senteleng. Tetap saja, saya melihat keberadaannya belum sebanding dengan potensi ikannya yang melimpah. Sebagaimana batik dengan grosirnya, untuk ikan mestinya juga ada penanda atau landmark-nya dengan keberadaan sentra makanan dengan menu ikan. Jadi suatu waktu kelak, para tamu atau alumni yang pulang kampung tidak saja penasaran berburu batik tapi juga penasaran mencicipi hidangan ikan ala Pekalongan. Sate ikan atau Ikan bumbu taucokah?
Kapan kesampaian? Wah ini tentu membutuhkan waktu yang panjang karena merupakan kerja besar yang mesti melibatkan opek, toma/toga dan tokoh pemda. Utamanya untuk merubah perilaku masyarakat yang berkaitan dengan persepsi yang keliru tentang ikan. Tapi bagaimana dan darimana dimulai? Kalau caranya sih bisa dimulai dari saling melempar gagasan baik melalui media komunikasi atau dalam forum pertemuan dari Opek atau alumni yang peduli dengan Pekalongan. Gagasan bisa dimulai dari ide-ide yang sederhana bagaimana cara membudayakan ikan di Pekalongan. Soal tempat nggak mesti di pelabuhan atau pantai kan. Amis. Bagaimana soal tempat saya usul di warung taoto saja. Tauto kan makanan khas Pekalongan. Di PPIP sebenarnya ada tauto yang paling enak sedunia tapi sayang amigos jadi bagaimana kalau di Klego saja. Jare enake sakpore dan tempatnya agak jembar. Jadi sambil bincang membudayakan ikan kita bisa selingi dengan makan tauto. Dasar.

(Bandara Hasanuddin, tengah malam)

No comments: