Friday, October 5, 2007

Mudik

Menuju Udik. Topik ini selalu menjadi perbincangan hangat setiap menjelang akhir ramadhan. Soal kapan, kemana dan dengan apa mudiknya sampai ke soal-soal rencana di kampung halaman serta hal-hal kecil lainnya selalu menarik dibicarakan. Parahnya, ini masih ditambah dengan promosi jor-joran dari perusahaan yang memanfa’atkan momen mudik. Perhatikan aja, pagi-pagi nonton TV, baca koran atau nyetel radio dalam perjalanan kerja selalu ketemu yang namanya laporan dan iklan mudik lebaran. Begitu juga suasana di jalanan, spanduk dan baliho ikut meramaikan. Wah hebohlah. Makanya situasi begini biasanya bikin gerah dan bikin nggak konsentrasi ibadah dan kerja.
Atmosfir menjelang lebaran memang beda. Buat perantau yang rindu kampung halaman dan pengin bersilaturahim kepada keluarga, inilah saat ditunggu-tunggu. Bagi mereka, kesempatan mudik setahun sekali ini teramat sayang untuk dilewatkan. Makanya segala persiapan sudah diurus bahkan sejak awal puasa. Urusan cuti, tiket atau bengkel dan belanja oleh-oleh pokoknya sudah harus beres jauh-jauh hari. Begitu juga soal persiapan dana mudik. Mereka bahkan rela hasil jerih payahnya setahun terkuras buat mudik lebaran. Heran, kalau soal memanej dana ini, mereka yang buta akuntansi-pun paling bisa kalau bikin pos allowance mudik.
Beruntung, hiruk pikuk mudik tahun ini makin nyaman karena difasilitasi libur masal seminggu plus tambahan sangu THR. Tapi soal THR ini sepertinya cuma jatahnya para buruh dan karyawan BUMN/swasta thok. Untuk yang satu ini para pegawai negeri nampaknya nggak boleh ngiri. Mungkin pegawai negeri sudah “dianggap” tidak pantas lagi menerima THR. Barangkali karena mereka semua levelnya dianggap setara juragan. Hebat kan???
Mudik lebaran memang bikin perantau senang dan merasa menang. Yang namanya perantau kan awalnya karena mengalami kesulitan – umumnya ekonomi – di tempat asalnya. Mereka menyebar mencari penghidupan yang lebih baik di tanah rantau. Buah kerja keras dan nasib baiknya, tidak sedikit dari mereka yang menuai kesuksesan. Sukses paling tidak dalam arti memperoleh materi lebih. Mereka juga merasa menang karena mampu merubah nasib. Bila dulunya hidup serba sulit dan tidak berharga di kampung halaman kini mereka sudah berubah menjadi sosok yang hidup serba nyaman.
Hanya saja untuk merubah persepsi menjadi orang yang berharga dan dihormati, mereka kadang merasa perlu membuktikan. Nah pembuktian apalagi kalau bukan soal penampilan. Makanya mudik lebaran bagi sebagian orang merupakan kesempatan unjuk kemampuan. Mudik lebaran adalah saatnya memakai pakaian, handphone (dulu tape baru), motor atau mobil baru. Ya, pokoknya semua yang berbau simbol keberhasilan.
Mudik lebaran bagi sebagian orang juga saatnya untuk unjuk kemenangan. Dengan kekuatan uangnya mereka seakan mampu berbuat apa saja di kampung halaman. Hotel, rumah makan dan tempat hiburan mahal yang dulu nggak terjangkau sekarang jadi sasarannya. Menikmati keberhasilan atau kemenangan seakan menjadi pembenar untuk melampiaskan dendam atas ketidakmampuan masa lalu. Tinggallah orang kampung menjadi penonton kegembiraan mereka. Kadang tanpa sedikitpun manfa’at yang mereka dapatkan. Patutkah yang demikian?
Mudik dan merayakan kemenangan bagi kaum muslim sudah seharusnya mengikuti tauladan rasulullah. Sebagai seorang perantau rasulullah pernah juga mudik dari Madinah ke kampung halamannya di Mekkah. Peristiwa ini terjadi pada saat Fat-hu Mekkah pada bulan Ramadhan tahun 8 H. Tapi apa yang dilakukan rasulullah?
Rasulullah pernah juga mengalami masa sulit dan menghadapi penghinaan pada masa-masa awal dakwah Islam di Mekkah. Namun setelah merantau (hijrah) ke Madinah dan mengalami perjuangan yang penuh pengorbanan, akhirnya rasulullah memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang.
Di luar dugaan penduduk Mekkah, Rasulullah tidak memamerkan hasil kemenangannya, tidak melampiaskan dendamnya dan tidak pula membiarkan masyarakat Mekkah sebagai korban kemenangannya. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam Sirah Nabawiyah menyebutkan: “Nabi SAW saat memasuki kota Mekkah tengah hanyut dalam suasana syuhud mu’allah (khusyu’ mengingat akan karunia Allah), bukan dengan kecongkakan dan kesombongan”.Rasulullah tetap tampil bersahaja, sama sekali tidak berbangga-bangga dan jauh dari sikap aji mumpung. Musuh-musuh yang ketakutan pasrah diapakan saja malah diajaknya mengikuti barisannya dan lebih mengutamakan beribadah di Ka’bah ketimbang bersenang-senang. Sabdanya: “Bahkan hari ini adalah hari kasih sayang…..”. Begitulah sang tauladan kita mudik dan merayakan kemenangan. Mampukah kita meneladaninya?

No comments: