Friday, October 5, 2007

Rukyat Purnama

Menghadapi kemungkinan perayaan lebaran yang tidak bersamaan, ummat Islam masa sekarang sepertinya sudah adem ayem aja. Ini bisa jadi karena Ummat Islam makin arif atau bisa juga karena sudah terbiasa menghadapi situasi begini. Juga, bisa jadi karena ummat Islam itu paling pinter mengambil hikmah dari sesuatu. Bukankah hadits Nabi mengatakan: “perbedaan itu adalah rahmat”. Jadi buat apa dipaksakan untuk disatukan, toh masing-masing mendapat rahmat atau hikmah dibaliknya.
Hikmah beda penentuan 1 Syawal setiap tahunnya paling tidak membuat ormas Islam mendapat promosi gratis. Nama-nama seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya selalu disebut-sebut karena pendapat merekalah yang menjadi panutan ummat. Media masa-pun jadi rajin menyimak pendapat tokoh-tokohnya.
Beda lebaran ternyata bisa juga membawa dampak positif dengan terpecahnya konsentrasi ummat ketika merayakannya. Bukankah dengan begitu akhirnya pemerintah menambah cuti masal dan arus mudikpun tidak tumplek blek pada hari tertentu saja. Hikmahnya kan liburnya menjadi lebih panjang dan mengurangi kemungkinan macet total.
Tapi sebaik apapun ummat Islam dalam memaknai perbedaan tetaplah lebih indah yang namanya persatuan. Penyebabnya perbedaan adalah pangkal kebinasaan suatu negeri. Firman Allah dalam QS Huud ayat 117-118: “Dan Tuhanmu tidak membinasakan negeri-negeri dengan aniaya, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, (tetapi) mereka senantiasa berselisih”. Parahnya, ummat Islam terkesan pasrah dengan perbedaan dan makin keukeuh dengan pendapat kelompoknya masing-masing.
Beda metode penentuan 1 Syawal yang sudah berbilang puluhan tahun ini mestinya sudah dianggap sebagai dua kutub yang sudah tidak mungkin dipertemukan lagi. Masing-masing berada pada titik ekstrim: rukyat dan hisab. Pendapat manapun yang akan kita ikuti mengandung arti pengabaian terhadap pendapat lainnya yang juga mempunyai dalil kuat. Bingung kan? Repotnya lagi kalau kita makmum tapi tanpa pengetahuan berarti taqlid. Suatu sikap yang tercela dalam Islam. Padahal mencoba memahami metode rukyat atau hisab itu tidak gampang.
Nah daripada pusing-pusing memahami metode mereka, saya mencoba mendapatkan keyakinan melalui metode rukyat purnama. Logikanya begini:

“Kalau kita mengetahui awal suatu bulan Hijriah dan kemudian mencari titik tengahnya - saat bulan purnama - maka kita akan bisa menghitung atau memprediksi perjalanan setengah bulan ke depan alias kapan masa suatu bulan berakhir.”

Metode ini sudah saya coba terapkan di bulan di bulan Rajab dan Sya’ban 1428 H dan hasilnya cocok dengan penanggalan. Penerapannya begini:

Rajab : Malam hari di tanggal 14 dan 15 Rajab bulan tidak terlihat bulat sempurna sehingga saya mengasumsikan purnama terjadi siang hari pada tanggal 15 Rajab. Ini artinya setengah bulan berumur 14½ sehingga bulan Rajab berumur 29 hari.

Sya’ban : Malam hari 15 Sya’ban bulan bulat sempurna (purnama) sehingga saya memastikan inilah saatnya tengah bulan. Ini artinya setengah bulan berumur 15 sehingga bulan Sya’ban berumur 30 hari.

Jadi untuk penghitungan umur bulan Ramadhan begini:
Ramadhan : Malam hari di tanggal 14 dan 15 Ramadhan bulan tidak terlihat bulat sempurna sehingga saya mengasumsikan purnama terjadi diantara kedua malam tersebut alias siang hari pada tanggal 15 Ramadhan. Ini artinya setengah bulan berumur 14½ sehingga bulan Ramadhan berumur 29 hari.
Nah, Isya Allah beginilah cara saya menyikapi perbedaan penentuan 1 Syawal. Jadi, kecuali ada keputusan bulat untuk mempersatukan 1 Syawal pada tanggal 13 Oktober 2007, saya yakin dengan pilihan puasa ramadhan selama 29 hari yang artinya lebaran pada tanggal 12 Oktober 2007. Wallahu A’lam bishshawab.
Foto: htpp://febdian.net

No comments: