Thursday, May 22, 2008

Demo BBM

Hari-hari belakangan ini, demo para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya kembali marak utamanya menentang rencana kenaikan BBM. Mereka yang mengaku peduli pada rakyat miskin ini semakin mendapat momentum berkenaan dengan peringatan 100 tahun kebangkitan bangsa Indonesia dan 10 tahun reformasi. Isu ini mereka usung demi membangkitkan semangat perlawanan kepada pemerintah yang dicap korup, tidak memihak rakyat dan lebih mengabdi kepada kepentingan asing.
Tapi benarkah setiap rencana kenaikan BBM selalu dianggap tidak memihak kepada rakyat miskin dan kenapa stigma ini begitu melekat di benak para demonstran. Sulit tentu untuk mencari penyebabnya. Tapi dari beberapa omongan dan email berantai yang saya terima, sedikit banyak saya jadi tahu kenapa.
Saya, paling tidak, tertegun dengan cara pikir mereka karena konon BBM itu tersedia gratis dari perut bumi Indonesia dan hanya perlu ongkos produksi US$15/barrel (kalau impor berarti harga internasional + US$15). Kemudian, karena total konsumsi kita 1,2 juta barrel/hari sementara produksi kita cuma 1 juta barrel/hari maka kita hanya perlu impor 200 ribu barrel/hari. Namun, karena pemerintah menjual BBM seharga US$77/barrel (dengan subsidi), berarti masih menerima surplus sebesar US$49,4 juta/hari atau Rp165,8 Trilyun. Nah karena masih untung, tentu tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM dalam negeri. Benarkah akibat kenaikan BBM di pasar internasional pemerintah masih untung atau surplus? Wah, bahaya dan sangat provokatif sekali logikanya. Andai saja logika yang belum tentu benar itu jadi pemicu demonstrasi, apalagi kalau sampai timbul kerusuhan tentu sangat disayangkan.
Kenapa saya bilang begitu karena menurut saya logikanya terbalik, sangat lemah, dan subyektif. Sekarang bayangkan, selama kita menjadi net importir (-), maka setiap kenaikan harga minyak di atas asumsi BBM atau harga jual bersubsidi pasti akan semakin menambah dana subsidi alias kerugian karena pemerintah harus membeli harga tinggi di pasar internasional tapi menjual murah di dalam negeri. Logikanya selama masih net importir, selama harga beli lebih tinggi dari harga jual, pasti akan rugi. Beda halnya kalau ternyata harga BBM di pasar internasional turun di bawah harga dalam negeri (kasusnya hampir terjadi ketika harga pertamax mendekati harga premium), pemerintah surplus dan wajib kita tuntut untuk menurunkan harga BBM.
Bahwa kenaikan harga BBM akan membawa dampak kerugian bagi warga miskin, saya sangat setuju. Tetapi, saya sangat tidak setuju kalau ada pemutarbalikan fakta dari defisit menjadi surplus sehingga bikin gerah orang awam. Andai saja kita mau berpikir bijak, kita mestinya menyadari kalau BBM terus-menerus disubsidi justeru akan memperlebar kensejangan antara si kaya dan si miskin. Si kaya yang seharusnya ikut sama-sama menanggung beban tapi malah mendapat perlindungan efek dilusi dari kebijakan yang bernama subsidi BBM. Taruhlah si kaya selama ini mengaku sebagai pahlawan pembayar pajak, tapi berapa net cashflow yang ia sumbangkan kalau di sisi lainnya dia menarik lagi manfaat dari pemerintah berupa subsidi BBM. Ilustrasinya begini: Seorang manajer menengah yang setiap tahun membayar pajak Rp8 juta, tiap harinya berkendara mobil pribadi dengan konsumsi premium rata-rata 10 lt. Dengan harga BBM sekarang Rp4.500 sementara harga ekonomis Rp8.500 berarti tiap liternya dia menikmati subsidi sebesar Rp4.000. Artinya dalam setahun (300 hari saja), dia menarik lagi manfaat dari pemerintah sebesar Rp12 juta. Jadi alih-alih menjadi pahlawan, secara total si manajer menengah tadi sebenarnya tidak memberikan kontribusi bagi negara. Mereka sebaliknya membebani anggaran negara yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program pengentasan kemiskinan. Relakah kalau sekelompok masyarakat menengah ini dengan mengatasnamakan rakyat kecil masih terus meneriakkan penolakan kenaikan BBM?

No comments: