Tuesday, September 30, 2008

Mudik Pekalongan Via Dieng

Bosan mudik lewat jalur pantura yang panas dan pemandangan monoton, tahun ini saya sekeluarga mudik dari Bogor tujuan Pekalongan lewat jalur selatan. Pilihan ini berarti jalurnya melambung jauh tapi memang saya niatin karena: Pertama, mencoba suasana baru, kedua, mencuri start jalan-jalannya biar habis lebaran fokus di Pekalongan dan sekitarnya aja. Jadi, eksperimenku sengaja milih mudik ke Pekalongan sambil piknik lewat Dieng. Itung-itung, perjalanan mudik biar tak lagi membosankan dan menambah kesan buat anak-anak.
Berangkat hari minggu jam 2 pagi, perjalanan relatif lancar sampai keluar pintu tol Cileunyi. Selepas itu ternyata perjalanan tersendat juga. Macet, merayap dan kadang harus stop and go. Tapi yang namanya nginjak jalur yang sudah tahunan nggak dilewati ya lumayan dapat kompensasi suasana. Boleh dibilang sampai pertigaan Buntu suasana mudik yang semrawut masih terasa. Tapi ketika berbelok kiri mengarah ke Wonosobo, suasana tenang dan nyaman baru terasa. Mayoritas lalu lalang kendaraan mudik tergantikan oleh suasana lalu lalang kendaraan lokal. Cukup menghibur suasananya dan rasa kantuk yang mulai mendera sontak lenyap. Persis maghrib sampai di Wonosobo dan segera saja check in di Hotel karena buru-buru untuk berbuka puasa.
Jam 9 pagi esok harinya, perjalanan ke Pekalongan dilanjutkan lewat jalur mendaki ke Dieng. Gagasanku, mudik sekalian piknik, kenapa tidak? Hambatannya memang masih suasana puasa jadi mungkin tidak bisa menikmati perjalanan secara sempurna. Apalagi saya bawa anak kelas 6 dan 2 SD. Bagaimana kalau mengeluh lapar dan haus? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana suasananya?, apa obyek-obyek tujuan utama di sana tetap buka?Perjalanan mendaki dari Wonosobo memang kontan memberikan suasana mudik yang jauh berbeda dibanding jalur normal manapun. Udara segar langsung terasa, tanah garapan kebun sayur yang berundak-undak langsung memberikan suasana yang jauh berbeda.


Mungkin karena suasana puasa, pengunjung obyek wisata Dieng ternyata sepi mendekati ramai. Tapi hal ini malah menjadi hikmah tersendiri karena pengunjung bisa leluasa menikmati obyek yang ada tanpa harus ada crowded atau berdesak-desakan. Setiap masuk obyek wisata seperti telaga, candi atau teater hanya terlihat beberapa rombongan wisatawan. Diantara pengunjung lama-lama jadi apal dan saling mengenali. Hikmahnya kita bisa saling menyapa dan lebih bisa menikmati suasana karena pelayanannya sama sekali tidak berkurang. Sewaktu nonton di Dieng Plateu Theater misalnya, meski baru ada tiga rombongan film langsung diputer. Jadi cukup privasilah.



Kalo melihat obyek yang ditawarkan, mungkin sehari saja belum cukup untuk menjelajahinya. Tapi yang namanya kendala psikologis terus terang ya tetap ada, meski anak-anak nggak ngeluh capek, lapar atau haus, kita tetap membatasi diri tidak ngoyo nguber obyek-obyek yang ada. Namanya juga piknik yang sambil lalu, jadi menjelang jam 2-an, saya sekeluarga turun menyusuri jalur yang mengarah ke Batur dan Wonoyoso.
Di luar dugaanku, disamping pemandangan alamnya yang indah, di jalur ini menyediakan pemandangan mengagumkan lainnya berupa deretan masjid-masjid bagus nan menyolok yang jarak satu dengan lainnya kadang tidak terlalu jauh. Terus terang saya mengaguminya karena berarti masyarakat di sini sangat religius dan secara ekonomi cukup makmur. Sungguh, jajaran menara-menara masjid yang menjulang ini melebihi suasana di Pulau Lombok yang mengklaim sebagai Pulau Seribu Masjid. Kalo gitu julukan apakah yang pantas untuk kawasan Dieng?

No comments: