Menjelang akhir puasa, seperti biasa, kita yang hidup di Indonesia bakal menghadapi hajatan besar tahunan, mudik lebaran. Peristiwa mudik lebaran sendiri berawal dari rutinitas perorangan ummat muslim untuk merayakan lebaran atau bubaran kemenangan setelah sebulan berpuasa, bersama orang-orang dekat dan dicintai. Hanya saja disebut mudik karena tujuannya ke udik atau tempat asalnya yang memang biasanya merupakan remote area di pedalaman atau malah pinggiran sana. Rutinitas ini berkembang menjadi hajatan besar, karena mayoritas penghuni kota-kota besar adalah kaum urban muslim yang secara kolektif menyikapi lebaran dengan mudik ke kampung halaman. Maka jadilah kebiasaan mudik sebagai peristiwa kolosal yang melibatkan sedemikian heterogen lapisan masyarakat. Istilahnya, dari pembantu sampai majikan dan dari kopral sampai jenderal semuanya ikut mudik lebaran.
Kita sepakat, mudik lebaran memang menyenangkan dan menjadi momen yang ditunggu. Tapi jangan salah, bagi sebagian orang, momen mudik lebaran justeru selalu menjadi peristiwa yang mencemaskan. Mereka itu adalah keluarga yang karena satu dan lain hal, hidupnya tergantung kepada pembantu. Terang aja, keluarga yang begini selalu diliputi perasaan gelisah karena bagi mereka sekedar dua minggu hidup tanpa pembantu, sudah merupakan bencana. Makanya, demi menutupi ketergantungan pada pembantu, saat-saat ditinggal pembantu mudik lebaran, mereka rela mengupah pembantu harian yang tarifnya cukup wah, Rp100 s.d. Rp120 ribu per hari!. Nah bagi yang berhitung-hitung, nimbang bayar mahal tanpa nilai tambah, tak sedikit yang ikutan meramaikan “mudik lebaran” walau sekedar plesir dan hidup berpindah dari hotel ke hotel. Kalau tidak, bersiap-siaplah berjibaku dengan pekerjaan rumah dengan load tinggi yang tiada habisnya. Kadang, di saat beginilah, kita baru menyadari begitu besar peran pembantu yang merupakan pahlawan rumah tangga. Tanpa bantuannya, sungguh muskil kita bisa menikmati hidup secara lebih berkualitas.
Kecemasan hidup tanpa pembantu, sebelumnya tidak menjadi masalah dalam keluargaku. Kebetulan, saya mendapat pembantu yang jarang mudik, karena dia lebih memilih menyisihkan tabungannya untuk biaya sekolah anaknya. Seperti tumbu ketemu tutup, saya tentu mendukung dan menghargai sikapnya. Sebaliknya, kadang dia malah berlebaran dengan mengundang anaknya yang datang ke rumahku. Lebih murah katanya. Karena kebiasaannya, saya biasanya justeru lebih tenang mudik karena ada pembantu yang menunggui rumah. Kadang saja, saat dia berkeinginan mudik, saya mengantar atau menjemput dari kampungya, mana yang lebih memungkinkan.
Tanpa terasa, kebiasaan itu sudah berjalan sejak sebelum kelahiran anakku yang kedua yang sekarang berumur tujuh tahun lebih. Dan Alhamdulillah, ini berarti sudah delapan tahun lebih dia mendedikasikan hidupnya untuk membantu pekerjaan rumahku dan merawat kedua anakku. Suatu pengorbanan dan bantuan yang tak ternilai, yang tak cukup sekedar ucapan terima kasih dan seamplop uang THR.
Tapi yang namanya irama hidup selalu berubah dan tidak ada yang abadi. Perasaan nyaman yang selama ini terjaga, tiba-tiba berubah karena kelahiran cucunya. Di saat anakku mulai tumbuh besar dan mulai berkurang ketergantungan padanya, datang seorang cucu dari darah dagingnya sendiri yang membutuhkan perhatian. Awalnya terlihat keraguan dan kebimbangannya ketika harus memilih bekerja untuk keluargaku atau merawat cucunya sendiri. Bekerja berarti mendapat upah sedang merawat cucunya sendiri berarti get nothing alias tangan hampa. Dan itu saya yakin menjadi pilihan yang teramat sulit baginya. Delapan tahun berinteraksi, sudah cukup bagi saya untuk mengetahui betapa sulitnya dia bakal menjalani hidup tanpa penghasilan pasti sementara anak dan menantunya sebenarnya belum hidup mandiri.
Tapi hidup juga pilihan. Kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang masing-masing menawarkan kelebihan dan kekurangan atau manis dan getir. Dan ironisnya, keluarga saya pun dihadapkan pada pilihan yang sama peliknya, membujuknya tetap tinggal atau justeru men-support untuk merawat cucu. Dan syukur, biar terasa berat, keluargaku siap legowo untuk melepas dia agar bisa merawat cucunya. Tak adil rasanya, mengorbankan hak anak dan cucunya untuk mendapat pengasuhan dan kasih sayangnya. Anehnya, justeru ketika kami ungkapkan pilihan keluargaku, pembantuku justeru menitikkan air mata, tak siap menanggung perpisahan ini.
Hari-hari perpisahan inipun semakin dekat menjelang mudik lebaran ini. Sungguh, kejadian memilukan pun terjadi. Sepertinya dia ingin menunjukkan bekas atau jejak yang dikenang atau juga menunjukkan pengabdian terbaiknya. Tanpa diminta semua perabotan dirapikan, gorden dan taplak-taplak dicuci, taman dan halaman selalu bersih. Peristiwa ini sama mengejutkannya dengan saat-saat di pertama kali hadir di keluargaku. Banyak surprise, seperti inisiatif menyiapkan handuk baru setiap beberapa hari layaknya service di hotel atau inisiatif menyiapkan cemilan, terutamanya tempe mendoannya yang membangkitkan selera. Atau hari-hari bagaimana dengan sigapnya, dia tidak saja menyelesaikan urusan dapur dan belanja ke pasar tapi juga membayarkan rekening listrik, menabung di bank atau bahkan mengantar anak berobat ke dokter.
Kini lebaran makin dekat dan kegalauan menyelimuti keluargaku. Ini tidak saja karena harus menghadapi urusan rumah tanggaku tanpa kehadirannya, tetapi juga membayangkan kehidupan pembantuku selanjutnya tanpa kepastian ekonomi, sementara, ma’af saja, secara ekonomi masih sangat lemah. Dan pastinya, perpisahan ini bakal menjadi peristiwa yang mengharukan. Tak siap rasanya menghadapinya, sungguh kejam sekali kehidupan ini. Kemanakah dia akan berlindung kala menghadapi kesulitan hidup? Wallahu ‘alam.
Tapi ya sudahlah, biarkanlah hidup seperti air mengalir. Mudik ya mudik, pembantu mudik dengan “tugas baru” menjadi satu hal, kita mudik juga menjadi hal lainnya. Harapanku, dalam kurun kurang dari sebulan ini saya sudah dapat pengganti yang sebaik dia. Pembantu yang bekerja dengan target tertentu sehingga suatu saat bisa merubah nasib kehidupan keluarganya. Demikian, sehingga perpisahannya pun menjadi sesuatu yang bermakna. Selamat jalan, Tarsiah, semoga ini menjadi pilihan terbaiknya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment