Monday, January 26, 2009

Imlek dan Kue Keranjang

Dulu, semasa usia sekolah, saya mengira bahwa imlek adalah lebaran cina, saat secara keagamaan mereka merayakan hari sucinya. Sebagaimana muslim Indonesia merayakan lebaran membuat ketupat sebagai hidangan utama, di saat imlek mereka membuat kue keranjang. Makanya setiap imlek, orang tuaku selalu mendapat bingkisan kue keranjang dari para tetangga sebagai balasan karena mereka selalu mendapat bingkisan ketupat saat lebaran. Suatu tradisi toleransi di Pekalongan.
Meski tradisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun, saya masih saja kebingungan menghubungkan imlek dengan agama yang mereka anut. Setahu saya, orang-orang cina tetangga saya beragama kristen atau katholik, kecuali satu tetangga lainnya yang merayakan secara penuh imlek dengan sembahyangan di rumahnya. Makanya, suasana imlek di gang saya meski cukup banyak keluarga cina tetap saja terlihat sepi. Ya, sepi bak penampilan kue keranjang yang dingin, suram dan sama sekali tak menarik. Saya bahkan kadang-kadang menghubungkan dengan suasana negeri China yang muram di bawah pemerintahan komunis.
Tapi persepsi saya tentang imlek 180ยบ berubah seiring dengan keterbukaan informasi dan demokratisasi. Dari pemberitaan gencar di media masa dan penayangan yang menarik di media televisi saya semakin mendapatkan gambaran yang utuh tentang imlek. Belum lagi demokratisasi yang menghilangkan pembatasan untuk merayakan imlek semakin memberikan iklim yang kondusif bagi cina di Indonesia untuk merayakannya. Dengan salah satu maskotnya, Barongsai, saya baru menyadari begitu dinamis dan penuh warnanya tradisi cina. Atau juga pengalaman pertama saya ketika pertama kali memasuki kampoeng cina di kota wisata, saya merasakan betapa hidupnya tradisi mereka.
Keterbukaan informasi memang membuka mata, bahwa imlek ternyata bukanlah hari suci keagamaan sebagaimana saya pahami selama ini. Imlek jauh dari simbol-simbol keagamaan, karena imlek ternyata lebih merupakan tradisi untuk merayakan tahun baru (Lunar New Year) dan tradisi untuk berkumpul bersama keluarga. Hanya saja, dugaan bahwa imlek ada kemiripan dengan lebaran ternyata tidak seluruhnya salah. Melihat tayangan discovery channel tentang Shanghai Bus Terminal atau membaca artikel Liu Shinan berjudul Going Home: In pursuit of a better life (Jakarta Post, 25 January 2009) yang intinya menceritakan mudik dengan bermotor, nyata betul bahwa mereka begitu antusiasnya merayakan imlek dengan mudik ke kampung halaman layaknya lebaran di Indonesia.
Satu hal yang masih belum saya mengerti adalah hubungan hujan dengan keberkahan atau rejeki bagi mereka. Bagi saya menghubung-hubungkan peristiwa alam dengan peruntungan jelas sama sekali tidak masuk akal. Kalau ini yang terjadi, imlek yang cerah tahun ini akankah berarti kesuraman peruntungan dan ekonomi di tahun banteng (ox) kali ini? Ada hujan atau tidak, secara kondisi dan situasional tahun ini masyarakat dunia akan menghadapi kondisi yang berat karena menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia. Masalahnya, dapatkah semangat kemeriahan imlek dapat mewarnai kehidupan ekonomi mendatang? Tidak seperti kue keranjang yang meski manis rasanya tapi dingin dan suram penampilannya.

No comments: