Sunday, February 8, 2009

Lemparan Sepatu

Melempar sepatu tiba-tiba saja menjadi populer. Popularitas ini dipicu oleh Muntadhar Al-Zaidi, wartawan Iraq yang karena kesalnya melempar Bush dengan kedua sepatunya. Wuss, satu sepatu melayang dan wuss sepatu kedua melayang. Untung, mungkin karena sekedar simbol perlawanan dan si pelempar tidak bermaksud menciderai, kedua sepatu itu tak sempat mengenai Bush. Demikian, karena ulahnya, pelempar bukanya dikutuk tapi malah menjadi hero sehingga menjadi buah bibir masyarakat internasional.
Tak heran, melempar sepatu kemudian menjadi tren. Kasus terbaru adalah pelemparan sepatu yang dilakukan oleh para demonstran kepada PM Cina Wen Jibao saat menyampaikan pidato sambutan di Cambridge University, Inggris. Maknanya sama, lemparan sepatu hanya menjadi simbol, yaitu simbol perlawanan atau kekesalan atas pendudukan Cina di Tibet.
Kisah lemparan sepatu, dalam konteks penyimbolan yang berbeda pernah jadi cerita menggelikan. Dari suatu cerita, konon saat itu sedang akan berlansung pertandingan sepakbola di Setono, Pekalongan. Saat kedua tim siap bertanding, ternyata ada sesuatu yang kurang yaitu sang pengadil alias wasit tidak hadir. Karena tunggu punya tunggu nggak hadir juga, akhirnya panitia menunjuk salah seorang penonton yang di mata masyarakat cukup dikenal, sebut saja Bejo. Om Bejo ini penampilannya keren, atletis, dan kebetulan menjadi pemain bola lokal yang cukup terkenal. Mungkin karena didaulat demikian banyak orang, Om Bejo akhirnya menyanggupi.
Tapi sebelum memimpin pertandingan, Om Bejo membuat perjanjian dengan salah seorang panitia bahwa kalau waktunya istirahat atau berakhir pertandingan dia agar melempar sepatu ke atas. Priit pertandingan berjalanan, dan babak pertama berjalan mulus. Menjelang berakhir babak pertama, panitia melempar sepatu ke atas dan sang wasit meniup peluit tanda berakhir babak pertama.
Babak kedua berjalan dan pertandingan ternyata makin seru dan memanas. Mungkin hal ini juga makin dipicu oleh banyaknya keputusan-keputusan yang kontroversial. Suasana panas ternyata tidak hanya di lapangan, namun merembet ke pinggir lapangan. Konon, tak jauh dari meja panitia terjadi keributan dan berlanjut dengan aksi pukul. Mungkin merasa kesal, beberapa penonton melempar sepatu dan sandal ke arah pembuat keonaran. Maksudnya mungkin agar kerusuhan cepat reda dan pertandingan tidak terhenti. Namun rupanya hal ini diartikan lain oleh wasit. Ingat perjanjian tadi, begitu ada lemparan sepatu ke atas, segera saja Om Bejo dengan “pede” meniup peluit panjang. Prit, prit, priiiiiiitttt. Pemain melongo, dan penonton bingung. Lho, babak kedua belum full berjalan 45 menit kok sudah selesai. Nggak liat jam apa, terus gimana tim yang kalah mengejar ketinggalan? Tapi rupanya keputusan sudah final dan wasit menyatakan pertandingan selesai. Penonton ngamuk dan suasana jadi kacaulah.
Wow… ya terang aja wong wasitnya buta huruf. Ada lemparan sepatu ya berarti simbol atau tandanya waktu pertandingan sudah selesai.
Makanya, ati-ati ngelempar sepatu.

No comments: